RAHWANA

RAHWANA

RAHWANA Karya: Abdul Mukhid BABAK SATU ADEGAN 1 (Kerajaan Alengka waktu senja. Di bagian taman sari. Taman Asyoka yang sudah masyhur namanya. Terlihat para dayang melayani Shinta. Rahwana sedang bercengkerama dengan Sinta. Rahwana tidak digambarkan sebagai tokoh raksasa yang jelek, tapi sebagai seorang yang gagah dan wajah lumayan tampan. Taman sari itu adalah sebuah taman sari yang sangat indah. Tokoh dayang-dayang boleh ada boleh tidak) RAHWANA: (Kepada dayang-dayang) Kalian boleh pergi. (Para dayang memberi hormat, lalu pergi. Tinggal Rahwana dan Shinta berdua) RAHWANA: Kau tahu kenapa aku membawamu kemari? SHINTA: (Pura-pura tidak tahu) Tidak. RAHWANA: Bahkan aku bisa melihat kepura-puraan di matamu. (Shinta diam saja. Sedikit salah tingkah) Apakah kau sudah melupakan gemuruh perasaan yang ada di dada kita? SHINTA: Tentu saja tidak, Kanda Rahwana. Tapi, saling mencintai bukan harus memiliki, kan? Aku kira itu adalah hukum alam yang tidak terbantahkan lagi. Bukankah kau sendiri pernah berkata begitu? RAHWANA: Lantas kenapa aku tidak boleh memilikimu? SHINTA: Ini sudah takdir Sang Mahatunggal, Kakang. RAHWANA: (Dengan agak kesal) Oh ya? Apakah juga takdirNya bahwa engkau harus menikah dengan Rama? SHINTA: (Terdiam sejenak. Mencoba mengatasi perasaannya sendiri. Lalu dengan berat berkata) Tampaknya memang begitu, Kakang. Hening sesaat SHINTA: Dengarlah, Kakang. Aku yakin, Kakang sudah tahu perasaanku tanpa harus aku katakan. Tapi sekali lagi Kakang, ini memang sudah takdir. Ini perintah dari guru sejatiku. Bukankah Kakang juga punya cita-cita untuk bertemu dengan Sang Sejati? Inilah jalannya, Kakang. Kita harus menyingkirkan segala perasaan cinta duniawi yang berlebihan. Aku adalah bagian dari dunia ini, dan Kakang diberi ujian untuk tidak mengikatkan diri padaku. Begitu pula dengan aku. RAHWANA: Tapi aku ingin memandang wajahNya lewat wajahmu. Aku ingin mencintai diriNya yang ada dalam dirimu sekaligus yang meliputimu.(Gusar) Tidak. Tidak. Pasti ini semua karena Rama. Kenapa? Apa kau terpikat dengan ketampanannya? Rayuannya? Kekayaannya? Dengar Sinta, aku memang tak punya apa-apa. Tapi lihat betapa makmur negeri ini. Memang istana ini bukan punyaku. Rumahku hanyalah sekedar untuk tempat berbakti pada kepada Sang Mahasuci. Baik. Apa kau menginginkan kekayaan dan kemewahan? Ketampanan dan kata-kata manis? Kau bisa mendapatkan apa pun yang kau inginkan, Adinda. (Pause) Asal bukan Rama. klik di sini untuk download naskah teater selengkapnya

BACA SELANJUTNYA »
ANGGUR TERAKHIR MONOLOG Didik Wahyudi

ANGGUR TERAKHIR MONOLOG Didik Wahyudi

ANGGUR TERAKHIR : SEBUAH MONOLOG Karya Didik Wahyudi 03177570816 / bungabianglala@gmail.com LAMPU PANGGUNG MEREGANG: SEBUAH RUANGAN DI DALAM RUMAH. SEORANG PEREMPUAN ENTAH APA YANG DIKERJAKANNYA. SEPI, SAMPAI PEREMPUAN ITU BICARA: Luar negeri. Saya akan pergi ke luar negeri. Sebuah tempat dimana kehidupan saya akan bersambung. Menjadi sebuah jalan, yang entah menuju kemana. Tapi yang pasti saya akan mendapatkan pekerjaan yang lebih jelas. Tidak lagi terombang-ambing di antara kesepian dalam hati kecil saya dan para lelaki yang selalu memuja suara saya. Tubuh saya.   Saya sudah menjadi penyanyi kafe ketika umur saya 16 tahun. Ketika perempuan-perempuan seumur saya sedang sibuk ke sekolah, saya malah tidur di kamar. Dan malam waktu mereka tidur, saya ada di kafe. Begitulah saya jalani roda gila hidup saya. Berputar-putar di antara mimpi dan remang-remang cahaya panggung. 10 tahun adalah waktu yang lama. Dalam sepuluh tahun saya pasti sudah memiliki segalanya dan hidup berkecukupan andai saja saya mengenal Mas Jacky sejak dulu. Tetapi sudahlah. Barangkali memang begitulah garis tangan yang harus saya terima. Toh, sekarang saya sudah memegang semua yang saya perlukan. Pasport dan beberapa lembar surat akan mengantarkan saya ke tanah seberang. Tanah, yang dulu hanya bisa saya dengarkan ceritanya. klik di sini untuk download naskah teater selengkapnya

BACA SELANJUTNYA »