RUMAH KONTRAKAN Karya: Joko Pinurbo

RUMAH KONTRAKAN Karya: Joko Pinurbo -untuk ulang tahun Sapardi Djoko Damono (SDD) Tubuhku rumah kontrakan yang sudah sekian waktu aku diami sampai aku lupa bahwa itu bukan rumahku. Tiap malam aku berdoa semogalah aku lekas kaya supaya bisa membangun rumah sendiri yang lebih besar dan nyaman, syukur dilengkapi taman dan kolam renang. Tadi malam si empunya rumah datang dan marah-marah: “Orgil, kau belum juga membereskan uang sewa, sementara aku butuh biaya untuk memperbaiki rumah ini.” “Maaf Bu,” aku menjawab malu, “uang saya baru saja habis buat bayar utang. Sabarlah sebentar, bulan depan pasti sudah saya lunasi. Kita kan sudah seperti keluarga sendiri.” Pada hari yang dijanjikan si empunya rumah datang lagi. Ia marah besar melihat rumahnya makin rusak dan berantakan. “Orgil, kau belum juga membereskan uang sewa, sementara aku butuh biaya untuk merobohkan rumah ini.” Dengan susah payah akhirnya aku bisa melunasi uang kontrak. Bahkan diam-diam si rumah sumpek ini kupugar-kurombak. Saat si empunya datang, ia terharu mendapatkan rumahnya sudah jadi baru. Sayang si penghuninya sudah tak ada di sana. Ia sudah pulang kampung, kata seorang tetangga. “Orgil, aku tak akan pernah merobohkan rumah ini. Aku akan tinggal di rumahmu ini.” 2001 Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

BOLONG Karya: Joko Pinurbo

BOLONG Karya: Joko Pinurbo Bahkan celana memilih nasibnya sendiri: ia pergi ke pasar loak justru ketika aku sedang giat belajar bugil dan mandi. “Selamat tinggal pantat. Selamat tinggal jagoan kecil yang tampak pemalu tapi hebat.” Entah berapa pantat telah ia tumpangi, berapa kenangan telah ia singgahi, sampai suatu hari aku menemukannya kembali di sebuah kota, di sebuah kuburan. “Pulang dan pakailah celana kesayanganmu ini,” kata perempuan tua penjaga makam. Sampai di rumah, kupakai kembali si celana hilang itu dan aku terheran: “Kok celanaku makin kedodoran!” Aku termenung melihat seorang bocah di dalam cermin sedang sibuk mencoba celana yang sudah bolong di bagian tengahnya. 2002 Joko Pinurbo

BACA SELANJUTNYA »

MUDIK Karya: Joko Pinurbo

MUDIK Karya: Joko Pinurbo Mei tahun ini kusempatkan singgah ke rumah. Seperti pesan Ayah, “Nenek rindu kamu. Pulanglah!” Waktu kadang begitu simpel dan sederhana: Ibu sedang memasang senja di jendela. Kakek sedang menggelar hujan di beranda. Ayah sedang menjemputku entah di stasiun mana. Siapa di kamar mandi? Terdengar riuh anak-anak sedang bernyanyi. Nenek sedang meninggal dunia. Tubuhnya terbaring damai di ruang doa, ditunggui boneka-boneka lucu kesayangannya. “Hai, bajingan kita pulang!” seru boneka singa yang tetap perkasa dan menggigil saja ia saat kubelai-belai rambutnya. Ayah belum juga datang, sementara taksi yang menjemputku sudah menunggu di depan pintu. Selamat jalan, Nek. Selamat tinggal semuanya. Baik-baik saja di rumah. Salam untuk Bapak tercinta. Dengan sudah payah akhirnya aku bisa melunasi uang kontrak. Bahkan diam-diam si rumah sumpek ini kupugar-kurombak. Saat si empunya datang, ia terharu mendapatkan rumahnya sudah jadi baru. Sayang si penghuninya sudah tak ada di sana. Ia sudah pulang kampung, kata seorang tetangga. “Orgil, aku tak akan pernah merobohkan rumah ini. Aku akan tinggal di rumahmu ini.” 2001 Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

MOBIL MERAH DI POJOK KUBURAN Karya: Joko Pinurbo

MOBIL MERAH DI POJOK KUBURAN Karya: Joko Pinurbo Mobil merah di pojok kuburan menderam-deram menyambut malam. Lampu dinyalakan, klakson dibunyikan. Di remang sunyi kembang jepun berguguran. Lelaki tua sibuk berdandan, di kaca spion wajahnya terlihat tampan. Rambutnya harum, licin mengkilat, lalat yang hinggap bakal terjerembab. Kadang ia bersiul, dasi dan jas ia rapikan. Rokok dihisap, asap dikepul-kepulkan. Telepon genggam tak juga bilang kapan si dia bakal muncul dari seberang. Tiba-tiba ia terpana, pandangnya heran: ada gadis kecil lewat, bersenandung pelan, mendaki bukit, menyunggi bulan, sekali-sekali menoleh ke belakang. Mobil merah di pojok kuburan serupa mobil-mobilan yang dulu hilang. Musik dihidupkan, mata dipejamkan. Di terang sepi kembang jepun bermekaran. (2005) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

WINTERNACHTEN Karya: Joko Pinurbo

WINTERNACHTEN Karya: Joko Pinurbo Magrib memanggilku pulang ketika salju makin meresap ke sumsum tulang. Pulang ke hulu matamu agar bisa mencair dan menjadi air matamu. Musim tidak berbaju, badan dimangsa hujan, dan magrib mengajakku pulang. Pulang ke suhu bibirmu agar bisa menghangat dan menjadi kecup kenyalmu. Menggigil adalah menghafal rute menuju ibu kota tubuhmu. (2005) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

MALAM PERTAMA Karya: Joko Pinurbo

MALAM PERTAMA Karya: Joko Pinurbo Malam pertama tidur bersamamu, aku terkenang saat-saat manis bersama ibuku ketika dengan lembut dan jenaka ia mengajariku mandi dan memakai celana hingga kurasakan sentuhan ajaib tangan-tangan cinta tanpa bisa kuucapkan terima kasih padanya selain tersenyum dan tertawa. Lalu ibu menjebloskanku ke sekolah. Bertahun-tahun aku belajar bahasa yang baik dan benar hanya untuk mengucapkan cinta monyet dengan lugu dan malu-malu tanpa menyadari bahayanya. Setelah dewasa aku paham bagaimana menyatakan cinta tanpa harus mengatakannya. Kini aku harus menidurimu. Tubuhmu pelan-pelan terbuka dan merebakkan bau masam dari ketiakmu. Aku gugup. Tapi tak mungkin kupanggil almarhumah ibuku untuk mengajariku membaca halaman-halaman tubuhmu sebagaimana dulu dengan tekun dan sabar ia mengajariku membaca kalimat-kalimat sederhana: ini ibu budi; budi minum susu; ini susu ibu. Malam pertama tidur bersamamu, buku, kulacak lagi paragraf-paragraf cinta ibuku di rimba kata-katamu. Apakah kata-kata mempunyai ibu? Aku mencoba mengingat-ingat lagi apa kata ibu. Aku sering lupa dulu ibu suka berkata apa. Aku gemetar. Tubuhmu makin cerdas dan berbahaya. Ibu kata, temanilah aku. 2003 Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

CELANA, 2 Karya: Joko Pinurbo

CELANA, 2 Karya: Joko Pinurbo Ketika sekolah, kami sering disuruh menggambar celana yang bagus dan sopan, tapi tak pernah diajak melukis seluk-beluk yang di dalam celana sehingga kami pun tumbuh menjadi anak-anak manis yang penakut dan pengecut, bahkan terhadap nasib kami sendiri. Karena itu kami suka usil dan sembunyi-sembunyi membuat coretan dan gambar porno di tembok kamar mandi sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang yang suka cabul terhadap diri sendiri. Setelah loyo dan jompo, kami mulai bisa berfantasi tentang hal-ihwal yang di dalam celana: ada raja kecil yang galak dan suka memberontak; ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi rahasia alam semesta; ada gunung berapi yang menyimpan sejuta magma; ada gua garba yang diziarahi para pendosa dan pendoa. Konon, setelah berlayar mengelilingi bumi, Colombus pun akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana. Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

LUPA Karya: Joko Pinurbo

LUPA Karya: Joko Pinurbo Pekerjaan yang paling mudah dilakukan adalah lupa. Tidak butuh kecerdasan. Tidak perlu pendidikan. Hanya perlu sedikit berpikir. Itulah sebabnya, banyak orang tidak suka kalender, jam, dan tulisan. Menghambat lupa. Padahal lupa itu enak. Membebaskan. Sementara. * Musuh utama lupa ialah kapan. Teman terbaik lupa ialah kapan-kapan. Kapan dan kapan-kapan ternyata sering kompak juga. * Ia sudah selesai berdandan. Keren sekali. Pakai jas baru. Dasi warna-warni. Sepatu mengkilat. Minyak rambut. Parfum. Wangi. Sampai di depan pintu tiba- tiba lupa. Sebenarnya mau pergi ke mana? Berpikir sebentar. Memejamkan mata. Oh iya, tadi itu kan mau ke kamar mandi. Apa salahnya ke kamar mandi pakai jas, sepatu, dan segala pernak-perniknya? Anggap saja simulasi. Untuk? Memasuki rumah sakit jiwa. Mandi lupa membawa handuk atau celana untuk ganti itu biasa. Mandi lupa telanjang mungkin saja terjadi. Tapi mandi lupa membawa topeng? Bisa berabe. Untuk apa topeng diajak mandi? Untuk menakut-nakuti sepi. Untuk menemani wajah sendiri. * Aku sedang melamun di ruang tamu. Memperhatikan daun-daun dipetik hujan, disebarkan ke halaman. Hampir petang. Kring kring. Ada becak datang. Becak diparkir di depan pintu. Bang becak nyelonong masuk ruang tamu. Duduk santai. Merokok. Hap! Aku tergagap. Siapa dia? Aku merasa tak pesan becak. “Lupa ya?” Ia senyum-senyum. Aku bingung. Terpana. “Lupa ya?” Ia bertanya lagi. Tersenyum lagi. Tiba-tiba aku ingat bahwa aku memang pernah bertemu orang yang mirip dia di rumah sakit, tapi bukan dia. “Anda lupa ya bahwa Anda belum pernah bertemu saya? Mengapa harus mengingat-ingat?” “Ikut saya, yuk! Gratis.” Ia mengajakku ke kota dengan becaknya. Aku menolak. Kapan-kapan saja. Ketika aku sibuk mengamati daun-daun dipetik hujan, ia ngeloyor begitu saja dengan becaknya tanpa sempat kuperhatikan arahnya. Aku kini merasa lega setiap kali melihat becak melintas di jalan atau diparkir di halaman karen suatu saat nanti, jika aku hendak pergi ke kota, akan ada bang becak yang dijemput dan mengantarku. Lumayan. Nyaman. Sederhana. Tidak tergesa-gesa. * Adakah yang benar-benar habis digerogoti lupa? Lupa: mata waktu yang tidur sementara. 2003 Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

MASA KECIL Karya: Joko Pinurbo

MASA KECIL Karya: Joko Pinurbo Masa kecil seperti penjaga malam yang setia. Ia yang membuka dan menutup pintu setiap kau masuk dan keluar kamar mandi. Sementara kau sibuk mandi, ia duduk manis di sudut sepi, membaca cerita bergambar sambil ketawa-ketiwa sendiri. Jangan suka lihat orang mandi, nanti sakit mata. Ia langsung menuntup wajahnya dengan buku, seakan geli atau malu melihat tokoh komiknya yang (tidak) lucu. 2003 Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

SUDAH SAATNYA Karya: Joko Pinurbo

SUDAH SAATNYA Karya: Joko Pinurbo Sudah saatnya jam yang rusak diperbaiki. Kita pergi ke bengkel jam dan kepada pak tua yang ahli menyembuhkan jam kita meminta, “Tolong ya betulkan jam pikun ini. Jarumnya sering maju-mundur, bunyinya suka ngawur.” Semoga tukang bikin betul jam tahu bahwa ia sedang berurusan dengan penggemar waktu. * Sudah saatnya kita periksa mata. Kepada dokter mata kita bertanya, “Ada apa ya dengan mata saya, kok sering terbalik: tidak melihat yang kelihatan, malah melihat yang tak kelihatan?” Mudah-mudahan dokter mata paham: ya, memang begitulah jika mata dipejamkan. * Sudah saatnya jiwa yang janggal diselidiki. Kita konsultasi ke pakar psikologi: “Saya bingung. Saya sering mengalami situasi di mana saya tak tahu pasti apakah sedang berada di masa lalu, masa depan, atau masa kini. Tapi saya masih waras. Sungguh. Awas kalau berani menganggap saya gila.” Jika ia memang ahli, seharusnya ia mengerti: ya, begitulah jika tubuh kena teluh puisi. * Sudah saatnya kata-kata yang mandul kita hamili; yang pesolek ngapain dicolek, toh lama-lama kehabisan molek. Sudah saatnya kata-kata yang lapuk diberi birahi supaya sepi bertunas kembali, supaya tumbuh dan berbuah lagi. 2003 Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »