KORAN PAGI Karya: Joko Pinurbo

KORAN PAGI Karya: Joko Pinurbo Koran pagi masih mengepul di atas meja. Wartawan itu belum juga menyantapnya. Ia masih tertidur di kursi setelah seharian digesa-gesa berita. Seperti biasa, untuk melawan pening ia menepuk kening. Lolos dari deadline, ia terlelap. Capeknya lengkap. Tahun-tahun memutih pada uban yang letih. Entah sudah berapa orang peristiwa, berapa ya, melintasi jalur-jalur waktu di kerut wajah. Ke suaka ingatan mereka hijrah. Almarhum bapaknya sebenarnya tak suka ia susah-susah jadi reporter. Lebih baik jadi artis yang kerjanya diuber-uber wartawan. Ibunya berharap ia jadi dokter agar dapat merawat tubuhnya sendiri yang sakit-sakitan. Siang itu, bersama teman-teman sekelasnya, ia sedang berlatih mengarang. Semantara kawan-kawannya sibuk bermain kata, ia bengong saja sambil menggigit-gigit pena meskipun bu guru berkali-kali mengingatkan bahwa cara terbaik untuk mulai menulis adalah menulis. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba terjadi kebakaran. Bu guru dan murid-muridnya segera berhamburan keluar. Belakangan beredar kabar bahwa gedung sekolahnya sengaja dibakar komplotan perusuh berlagak pahlawan. Saat itu situasi memang sedang rawan, penuh pergolakan. Tanpa menghiraukan bahaya, bocah bego itu malah sibuk mencari-cari pena yang terjatuh dari meja. Bu guru nekad menyusulnya, sementara api makin berkobar dan semua panik: jangan-jangan mereka ikut terbakar. Setelah pensiun, bu guru yang pintar itu sibuk mengurus kios koran kebanggaannya. Sedangkan muridnya yang suka bengong kini sedang lelap di kursi, matanya setengah terbuka. Koran pagi masih mengepul di atas meja. (2003) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

USIA 44 Karya: Joko Pinurbo

USIA 44 Karya: Joko Pinurbo Dua kursi kurus duduk gelisah di bawah pohon hujan di pojok halaman. Dua ekor celana terbang rendah dengan kepak sayap yang makin pelan. Yang warnanya putih hinggap di kursi kiri. Yang putih warnanya hinggap di kursi kanan. Dua ekor celana, dua ekor sepi menggigil riang di atas kursi di bawah rindang hujan di pojok halaman dan berkicau saja mereka sepanjang petang. (2006) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

PENAGIH UTANG Karya: Joko Pinurbo

PENAGIH UTANG Karya: Joko Pinurbo Penagih utang itu datang tengah malam. Ia duduk dengan sopan, kedua tangan ditangkupkan, baju batiknya yang murahan tampak terlalu kedodoran untuk tubuhnya yang kurus dan kusam. “Langsung saja, ada perlu apa?” aku menghentak. Ia terperangah, badannya mengkerut, dan kopiahnya yang longgar seakan bergeser dari letaknya. “Maaf, kalau tidak salah, ini sudah jadwalnya.” “Jadwal bayar utang, maksudnya? Sabarlah, saya sedang banyak keperluan. Bapak lihat sendiri, brankas saya sedang ludes, kolam renang belum selesai saya perbaiki, toilet baru akan saya lapisi emas, istri belum sempat saya tambah lagi. Mohon pengertian sedikitlah!” Tamu itu berkali-kali minta maaf, kemudian permisi. Sebelum meninggalkan pintu, ia sempat berbisik di telingaku, “Tidak bikin keranda emas sekalian, Pak?” “Dasar rakyat!” dalam hati aku mengumpat. Entah mengapa, setiap kali melayat orang meninggal aku selalu melihat penagih utang itu menyelinap di tengah kerumunan. Ia suka mengangguk, tersenyum, namun saat akan kutemui sudah tak ada di tempatnya. Tahu-tahu ia muncul di kuburan, melambaikan tangan, dan ketika kudatangi tiba-tiba raib entah ke mana. Dan orang kaya yang banyak utang itu akhirnya mati mendadak persis saat sedang mencoba keranda emas yang baru saja selesai dibuat oleh ahlinya. Mewakili para pelayat, bapak tua berbaju batik itu tampil menyampaikan kata-kata belasungkawa. Dalam sambutan singkatnya antara lain ia mengatakan bahwa kematian tragis almarhum tetap tidak dapat menebus utang-utangnya. Namun ia mengajak hadirin untuk mendoakan arwahnya, memaafkan segala salahnya, syukur-syukur bersedia ikut menanggung utang-utangnya. (2001) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

DI POJOK IKLAN SATU HALAMAN Karya: Joko Pinurbo

DI POJOK IKLAN SATU HALAMAN Karya: Joko Pinurbo Di pojok iklan satu halaman lelaki itu duduk mencangkung sepanjang hari, menunggu perempuan yang pernah ia temui di sebuah mimpi. Kutunggu kau di sudut taman ini. Ia suka menengadah ke langit, menyaksikan ribuan pipit mencecar senja dalam cericit, meringkas waktu ke dalam jerit. Ia mencangkung saja sepanjang hari, lalu tertidur sampai pagi, sampai seorang perempuan datang membangunkannya. Aku ingin memperkosamu di taman yang hening ini. (2001) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

KEBUN HUJAN Karya: Joko Pinurbo

KEBUN HUJAN Karya: Joko Pinurbo (1) Hujan tumbuh sepanjang malam, tumbuh subur di halaman. Aku terbangun dari rerimbunan ranjang, menyaksikan angin dan dingin hujan bercinta-cintaan di bawah rerindang hujan. Subuh hari kulihat bunga-bunga hujan dan daun-daun hujan berguguran di kebun hujan, bertaburan jadi sampah hujan. (2) Kudengar anak-anak hujan bernyanyi riang di taman hujan dan ibu hujan menyaksikannya dari balik tirai hujan. Pagi hari kulihat jasad-jasad hujan berserakan di kebun hujan. Air mataku berkilauan di bangkai-bangkai hujan dan matahari menguburkan mayat-mayat hujan. (2001) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

ATAU Karya: Joko Pinurbo

ATAU Karya: Joko Pinurbo Ketika saya akan masuk ke kamar mandi, dari balik pintu tiba-tiba muncul perempuan cantik bergaun putih menodongkan pisau ke leher saya. “Pilih cinta atau nyawa?” ia mengancam. “Beri saya kesempatan mandi dulu, perempuan,” saya menghiba, “supaya saya bersih dari dosa. Setelah itu perkosalah saya.” Selesai saya mandi, perempuan itu menghilang entah ke mana. Saya pun pulang dengan perasaan waswas: jangan-jangan ia akan menghadang saya di jalan. Ketika saya akan masuk ke kamar tidur, dari balik pintu tiba-tiba muncul perempuan gundul bergaun putih menodongkan pisau ke leher saya. “Pilih perkosa atau nyawa?” ia mengancam. Saya panik, saya jawab sembarangan, “Saya pilih ATAU!” Ia mengakak. “Kau pintar,” katanya. Kemudian ia mencium leher saya dan berkata, “Tidurlah tenang, dukacintaku. Aku akan kembali ke dalam mimpi-mimpimu.” (2001) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

SURAT MALAM UNTUK PASKA Karya: Joko Pinurbo

SURAT MALAM UNTUK PASKA Karya: Joko Pinurbo Masa kecil kaurayakan dengan membaca. Kepalamu berambutkan kata-kata. Pernah aku bertanya, “Kenapa waktumu kausia-siakan dengan membaca?” Kaujawab ringan, “Karena aku ingin belajar membaca sebutir kata yang memecahkan diri menjadi tetes air hujan yang tak terhingga banyaknya.” Kau memang suka menyimak hujan. Bahkan dalam kepalamu ada hujan yang meracau sepanjang malam. Itulah sebabnya, kalau aku pergi belanja dan bertanya minta oleh-oleh apa, kau cuma bilang, “Kasih saja saya beragam bacaan, yang serius maupun yang ringan. Jangan bawakan saya rencana-rencana besar masa depan. Jangan bawakan saya kecemasan.” Kumengerti kini: masa kanak adalah bab pertama sebuah roman yang sering luput dan tak terkisahkan, kosong tak terisi, tak terjamah oleh pembaca, bahkan tak tersentuh oleh penulisnya sendiri. Sesungguhnya aku lebih senang kau tidur di tempat yang bersih dan tenang. Tapi kau lebih suka tidur di antara buku-buku dan berkas-berkas yang berantakan. Seakan mereka mau bicara, “Bukan kau yang membaca kami, tapi kami yang membaca kau.” Kau pun pulas. Seperti halaman buku yang luas. Dalam kepalamu ada air terjun, sungai deras di tengah hutan. Aku gelisah saja sepanjang malam, mudah terganggu suara hujan. (1999) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

PERIAS JENAZAH Karya: Joko Pinurbo

PERIAS JENAZAH Karya: Joko Pinurbo Untuk terakhir kali perempuan cantik itu akan merias jenazah. Setelah itu selesailah. Ia sangat lelah setelah sekian lama mengurusi keberangkatan para arwah. Kini ia harus merias jenazah seorang perempuan yang ditemukan tewas di bawah jembatan, tidak jelas asal-usulnya, serta gelap identitasnya, tidak ada yang sudi mengurusnya, dan untuk gampangnya orang menyebutnya gelandangan atau pelacur jalanan, toh petugas ketidakamanan bilang ah paling ia mati dikerjain preman-preman. Perias jenazah itu tertawa nyaring begitu melihat jenazah yang akan diriasnya mirip dengan dirinya. Kemudian ia menangis sambil dipeluknya jenazah perempuan malang itu. “Biar kurias parasmu dengan air mataku sampai sempurna ajalmu.” Beberapa hari kemudian perias jenazah itu meninggal dan tak ada yang meriasnya. Jenazahnya tampak lembut dan cantik dan arwah-arwah yang pernah didandaninya pasti akan sangat menyayanginya. Kadang perias jenazah itu diam-diam memasuki tidurku dan merenungi wajahku. Seakan ia tahu bahwa aku yatim piatu, tidak jelas asal-usulku, serba gelap identitasku. Kulihat wajah cantiknya berkelebatan di ranjang kata-kataku. (2002) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

CELANA, 1 Karya: Joko Pinurbo

CELANA, 1 Karya: Joko Pinurbo Ia ingin membeli celana baru buat pergi ke pesta supaya tampak lebih tampan dan meyakinkan. Ia telah mencoba seratus model celana di berbagai toko busana namun tak menemukan satu pun yang cocok untuknya. Bahkan di depan pramuniaga yang merubung dan membujuk-bujuknya ia malah mencopot celananya sendiri dan mencampakkannya. “Kalian tidak tahu ya, aku sedang mencari celana yang paling pas dan pantas buat nampang di kuburan?” Lalu ia ngacir tanpa celana dan berkelana mencari kubur ibunya hanya untuk menanyakan, “Ibu, kausimpan di mana celana lucu yang kupakai waktu bayi dulu?” (1996) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

CELANA, 3 Karya: Joko Pinurbo

CELANA, 3 Karya: Joko Pinurbo Ia telah mendapatkan celana idaman yang lama didambakan, meskipun untuk itu ia harus berkeliling kota dan masuk ke setiap toko busana. Ia memantas-mantas celananya di depan cermin sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya pantat tepos yang sok perkasa. “Ini asli buatan Amerika,” katanya kepada si tolol yang berlagak di dalam kaca. Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih yang menunggunya di pojok kuburan. Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.” Tapi perempuan itu lebih tertarik pada yang bertengger di dalam celana. Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!” Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru, yang gagah dan canggih modelnya, dan mendapatkan burung yang selama ini dikurungnya sudah kabur entah ke mana. (1996) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »