PANGGILAN PULANG Karya: Joko Pinurbo

PANGGILAN PULANG Karya: Joko Pinurbo Bangun tidur, ia langsung menghidupkan telepon genggam mudah-mudahan ada pesan. Masih ngantuk. Masih ada kabut mimpi di matanya. Masih temaram. Sebenarnya apa perlunya pagi-pagi menyalakan telepon genggam? Paling-paling cuma dapat pesan ringan: “Bagaimana tidurmu semalam? Sarungnya enak kan? Lupa sama saya ya? Tadi saya nunggu lama di kuburan.” Azan subuh berkumandang. Penuh hujan. Ia buka telepon genggam. Tumben, ayah kirim pesan: “Ibu sakit. Kangen berat. Nenek sudah tiga hari hilang. Makam kakek belum sempat dibersihkan. Sarung ayah dicuri orang. Utang stabil. Pohon nangka di samping rumah tumbang. Bisa pulang? Bisa minta ijin telepon genggam?” Pesan terakhir. Musik. Telepon genggam menyanyikan The Beatles: Mother…. (2003) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

DI PERJAMUAN Karya: Joko Pinurbo

DI PERJAMUAN Karya: Joko Pinurbo Aku tak akan minta anggur darahMu lagi. Yang tahun lalu saja belum habis, masih tersimpan di kulkas. Maaf, aku sering lupa meminumnya, kadang bahkan lupa rasanya. Aku belum bisa menjadi pemabuk yang baik dan benar, Sayang. (2006) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

TUBUH PINJAMAN Karya: Joko Pinurbo

TUBUH PINJAMAN Karya: Joko Pinurbo Tubuh yang mulai akrab dengan saya ini sebenarnya mayat yang saya pinjam dari seorang korban tak dikenal yang tergeletak di pinggir jalan. Pada mulanya ia curiga dan saya juga kurang berselera karena ukuran dan modelnya kurang pas untuk saya. Tapi lama-lama kami bisa saling menyesuaikan diri dan dapat memahami kekurangan serta kelebihan kami. Sampai sekarang belum ada yang mencari-cari dan memintanya kecuali seorang petugas yang menanyakan status, ideologi, agama, dan harta kekayaannya. Tubuh yang mulai manja dengan saya ini saya pinjam dari seorang bayi yang dibuang di sebuah halte oleh perempuan yang melahirkannya dan tidak jelas siapa ayahnya. Saya berusaha merawat dan membesarkan anak ini dengan kasih sayang dan kemiskinan yang berlimpah-limpah sampai ia tumbuh dewasa dan mulai berani menentukan sendiri jalan hidupnya. Sampai sekarang belum ada yang mengaku sebagai ibu dan bapaknya kecuali seorang petugas yang menanyakan asal-usul dan silsilah keluarganya. Tubuh yang kada saya banggakan dan sering saya lecehkan ini memang cuma pinjaman yang sewaktu-waktu harus saya kembalikan tanpa merasa rugi dan kehilangan. Pada saatnya saya harus ikhlas menyerahkannya kepada seseorang yang mengaku sebagai keluarga atau kerabatnya atau yang merasa telah melahirkannya tanpa minta balas jasa atas segala jerih payah dan pengorbanan. Tubuh, pergilah dengan damai kalau kau tak tenteram lagi tinggal di aku. Pergilah dengan santai saat aku sedang sangat mencintaimu. (1999) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

ANTAR AKU KE KAMAR MANDI Karya: Joko Pinurbo

ANTAR AKU KE KAMAR MANDI Karya: Joko Pinurbo Tengah malam ia tiba-tiba terjaga, kemudian membangunkan Seseorang yang sedang mendengkur di sampingnya. Antar aku ke kamar mandi. Ia takut sendirian ke kamar mandi sebab jalan menuju kamar mandi sangat gelap dan sunyi. Jangan-jangan tubuhku nanti tak utuh lagi. Maka Kuantar kau ziarah ke kamar mandi dengan tubuh tercantik yang masih kaumiliki. Kau menunggu di luar saja. Ada yang harus kuselesaikan sendiri. Kamar mandi gelap gulita. Kauraba-raba peta tubuhmu dan kaudengar suara: Mengapa tak juga kautemukan Aku? Menjelang pagi ia keluar dari kamar mandi dan Seseorang yang tadi mengantarnya sudah tak ada lagi. Dengan wajah berseri-seri ia pulang ke ranjang, ia dapatkan Seseorang sedang mendengkur nyaring sekali. Jangan-jangan dengkurMu yang bikin aku takut ke kamar mandi. (2001) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

MEI Karya: Joko Pinurbo

MEI Karya: Joko Pinurbo :Jakarta, 1998 Tubuhmu yang cantik, Mei telah kaupersembahkan kepada api. Kau pamit mandi sore itu. Kau mandi api. Api sangat mencintaimu, Mei. Api mengecup tubuhmu sampai lekuk-lekuk tersembunyi. Api sangat mencintai tubuhmu sampai dilumatnya yang cuma warna, yang cuma kulit, yang cuma ilusi. Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei adalah juga tubuh kami. Api ingin membersihkan tubuh maya dan tubuh dusta kami dengan membakar habis tubuhmu yang cantik, Mei Kau sudah selesai mandi, Mei. Kau sudah mandi api. Api telah mengungkapkan rahasia cintanya ketika tubuhmu hancur dan lebur dengan tubuh bumi; ketika tak ada lagi yang mempertanyakan nama dan warna kulitmu, Mei. (2000) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

DI SEBUAH MANDI Karya: Joko Pinurbo

DI SEBUAH MANDI Karya: Joko Pinurbo Di sebuah mandi kumasuki ruang kecil di senja tubuhmu. “Ini rumahku,” kau menggigil. Rumah terpencil. Tubuhmu makin montok saja. “Ah, makin ciut,” kau bilang, “sebab perambah liar berdatangan terus membangun badan sampai aku tak kebagian lahan.” Ke tubuhmu aku ingin pulang. “Ah, aku tak punya lagi kampung halaman,” kau bilang. “Di tubuh sendiri pun aku cuma numpang mimpi dan nanti numpang mati.” Kutelusuri peta tubuhmu yang baru dan kuhafal ulang nama-nama yang pernah ada, nama-nama yang tak akan pernah lagi ada. “Ini rumahku,” kautunjuk haru sebekas luka di tilas tubuhmu dan aku bilang, “Semuanya tinggal kenangan.” Di sebuah mandi kuziarahi jejak cinta di senja tubuhmu. Pulang dari tubuhmu, aku terlantar di simpang waktu. (2000) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
NASKAH DRAMA MAK COMBLANG

DI BAWAH KIBARAN SARUNG Karya: Joko Pinurbo

DI BAWAH KIBARAN SARUNG Karya: Joko Pinurbo Di bawah kibaran sarung anak-anak berangkat tidur di haribaan malam. Tidur mereka seperti tidur yang baka. Tidur yang dijaga dan disambangi seorang lelaki kurus dengan punggung melengkung, mata yang dalam dan cekung. “Hidup orang miskin!” pekiknya sambil membentangkan sarung. “Hidup sarung!” seru seorang perempuan, sahabat malam, yang tekun mendengarkan hujan. Lalu ia mainkan piano, piano tua, di dada lelaki itu. “Simfoni batukmu, nada-nada sakitmu, musik klasikmu mengalun merdu sepanjang malam,” hibur perempuan itu dengan mata setengah terpejam. Di bawah kibaran sarung rumah adalah kampung. Kampung kecil di mana kau bisa ngintip yang serba gaib: kisah senja, celoteh cinta, sungai coklat, dada langsat, parade susu, susu cantik, dan pantat nungging yang kausebut nasib. Kampung kumuh di mana penyakit, onggokan sampah, sumpah serapah, anjing kawin, maling mabuk, piring pecah, tikus ngamuk adalah tetangga. “Rumahku adalah istanaku,” kata perempuan itu sambil terus memainkan pianonya, piano tua, piano kesayangan. “Rumahku adalah kerandaku,” timpal lelaki itu sambil terus meletupkan batuknya, batuk darah, batuk kemenangan. Dan seperti keranda mencari penumpang, dari jauh terdengar suara andong memanggil pulang. Kling klong kling klong. Di bawah kibaran sarung aku tuliskan puisimu, di rumah kecil yang dingin terpencil. Seperti perempuan perkasa yang betah berjaga menemani kantuk, menemani sakit di remang cahaya: menghitung iga, memainkan piano di dada lelaki tua yang gagap mengucap doa. Ya, kutuliskan puisimu, kulepaskan ke seberang seperti kanak-kanak berangkat tidur di haribaan malam. Ayo temui aku di bawah kibaran sarung, di tempat yang jauh terlindung. (1999) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

TOPENG BAYI UNTUK ZELA Karya: Joko Pinurbo

TOPENG BAYI UNTUK ZELA Karya: Joko Pinurbo Melihat kau tersenyum dalam tidurmu, aku ingin kasih topeng bayi yang cantik untukmu. Kau pernah bertanya, “Cantikkah saya waktu bayi?” Sayang, aku tak sempat membuat foto bayimu. Padahal kau sangat lucu dan tak mungkin aku melukisnya. Di sebuah desa kerajinan aku bertemu seorang pembuat topeng yang sangat aneh tingkahnya. Ia suka menjerit-jerit saat mengerjakan topeng-topengnya. “Anda masih waras, kan?” aku bertanya. “Masih. Jangan khawatir,” jawabnya. “Saya hanya tak tahan menahan sakit dan perih setiap memahat dan mengukir wajah saya sendiri.” Aku sangat kesepian setiap melihat kau asyik bercanda dengan topeng bayimu. Kok wajahku cepat tua dan makin mengerikan saja. Tapi kau berkata, “Jangan sedih, Pak Penyair. Bukankah wajah kita pun cuma topeng yang tak pernah sempurna mengungkapkan kehendak penciptanya?” (1999) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

KISAH SEMALAM Karya: Joko Pinurbo

KISAH SEMALAM Karya: Joko Pinurbo Yang ditunggu belum juga datang dan masih digenggamnya surat terakhir yang sudah dibaca berulang: Aku pasti pulang pada suatu akhir petang. Tentu dengan bunga plastik yang kauberikan saat kau mengusirku sambil menggebrak pintu: “Minggat saja kau, bajingan. Aku akan selamanya di sini, di rumah yang terpencil di sudut kenangan.” Belum sudah ia bereskan resahnya dan malam buru-buru mengingatkan, “Kau sudah telanjang, kok belum juga mandi dan berdandan.” Maka ia pun lekas berdiri dan dengan berani melangkah ke kamar mandi. “Aku mau bersih-bersih dulu. Aku mau berendam semalaman, menyingkirkan segala yang berantakan dan berdebu di molek tubuhmu.” Dan suntuklah ia bekerja, membangun kembali keindahan yang dikira bakal cepat sirna: kota tua yang porak-poranda pada wajah yang mulai kumal dan kusam; langit kusut pada mata yang memancarkan cahaya redup kunang-kunang; hutan pinus yang meranggas pada rambut yang mulai pudar hitamnya; padang rumput kering pada ketiak yang kacau baunya; bukit-bukit keriput pada payudara yang sedang susut kenyalnya; pegunungan tandus pada pinggul dan pantat yang mulai lunglai goyangnya; dan lembah duka yang menganga antara perut dan paha. Benar-benar pemberani. Tak gentar ia pada sepi dan gerombolannya yang mengancam lewat lolong anjing di bawah hujan. Ada suara memanggil pelan. Ada cermin besar hendak merebut sisa-sisa kecantikan. Ada juga yang mengintip diam-diam sambil terkagum-kagum: “Wow, gadisku yang rupawan tambah montok dan menawan. Aku ingin mengajaknya lelap dalam hangat pertemuan.” “Ah, dasar bajingan. Kau cuma ingin mencuri kecantikanku. Kau memang selalu datang dan pergi tanpa setahuku. Masuklah kalau berani. Pintunya sengaja tak aku kunci.” Tak ada sahutan. Cuma ada yang cekikikan dan terbirit-birit pergi seperti takut ketahuan. “Baiklah, kalau begitu, permisi. Permisi cermin. Permisi kamar mandi. Permisi gunting, sisir, bedak, lipstik, minyak wangi dan kawan-kawan. Aku sekarang mau tidur. Aku mau terbang tinggi, menggelepar, dalam jaring melankoli.” Sesudah itu ia sering mangkal di kuburan, menunggu kekasihnya datang. Tentu dengan setangkai kembang plastik yang dulu ia berikan. 1996 Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
NASKAH DRAMA Lidah Tak Bertulang

TOILET Karya: Joko Pinurbo

TOILET Karya: Joko Pinurbo (1) Ia mencintai toilet lebih dari bagian-bagian lain rumahnya. Ruang tamu boleh kelihatan suram, ruang tidur boleh sedikit berantakan, ruang keluarga boleh agak acak-acakan, tapi toilet harus dijaga betul keindahan dan kenyamanannya. Toilet adalah cermin jiwa, ruang suci, tempat merayakan yang serba sakral dan serba misteri. Bertahun-tahun kita mengembara mencari wajah asli kita, padahal kita dapat dengan mudah menemukannya, yakni saat bertahta di atas lubang toilet. Karena itulah, barangkali, kita mudah merasa waswas dan terancam bila melihat atau mendengar kelebat orang dekat toilet karena kita memang tidak ingin ada orang lain mengintip wajah kita yang sebenarnya. Demikianlah, ketika saya bertandang ke rumahnya, tanpa saya tanya ia langsung berkata, “Kalau mau ke toilet, terus saja lurus ke belakang, putar sedikit ke kiri, kemudian belok kanan.” Mungkin ia bermaksud memamerkan toiletnya yang mewah. Begitu saya keluar dari toilet, ia bertanya, “Dapat berapa butir?” Butir apa? (2) Nah, ia terbangun dari tidurnya yang murung dan gelisah. Dengan bersungut-sungut ia berjalan tergopoh-gopoh ke toilet. Keluar dari toilet, wajahnya tampak sumringah, langkahnya santai, matanya cerah: “Merdeka!” Sambil senyum-senyum ia kembali tidur. Tidurnya damai dan pasrah. Terus terang saya suka membayangkan yang bukan-bukan kalau ia berlama-lama di toilet. Apalagi tengah malam. Apalagi mendengar ia terengah, mengerang, mengaduh, sesekali menjerit lalu berseru, “Edan!” Seperti sedang melepaskan rasa sakit yang tak tertahankan. O ternyata ia sedang bertelur. Dan ia rajin ke toilet malam-malam untuk mengerami telur-telurnya. Bertahun-tahun ia bolak-balik antara kamar tidur dan toilet untuk melihat apakah telur-telur mimpinya dan telur-telur mautnya sudah menetas. 1999 Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »