naskah drama PADANG BULAN

MEMANCING Karya: Sapardi Djoko Damono

MEMANCING Karya: Sapardi Djoko Damono batu kecil yang tadi iseng kaulemparkan ke dalam kolam pemancingan itu mendadak sadar dan membayangkan dirinya ikan yang menyambar-nyambar mata kailmu tapi batu kecil memang bukan ikan dan kailmu tidak dirancang untuk batu itu tapi kenapa kau suka iseng melempar-lemparkan sehingga batu itu mendambakan kailmu batu itu, murung, ada di dasar kolam sekarang di sekitarnya ikan-ikan tak acuh berseliweran sementara kailmu terpencil bergoyang-goyang di tepi kolam kau terkantuk-kantuk sendirian Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
NASKAH DRAMA Cahaya Rembulan

RUMAH OOM YOS Karya: Sapardi Djoko Damono

RUMAH OOM YOS Karya: Sapardi Djoko Damono untuk Mas Gondo di lereng bukit, rumah itu indah sekali pekarangannya beberapa ribu meter persegi dari serambi depan dapat disaksikan matahari pagi menggiring kabut ke perbukitan dari serambi belakang: butir-butir embun jalanan menanjak jalanan menurun ruang dan kamarnya minta ampun besarnya penuh barang antik: cermin-cermin tua keramik, perabotan, sekat-sekat ruangan lampu gantung entah dari zaman kapan kepala harimau dan kijang di dinding-dindingnya jam-burung dan patung-patung Eropa di luar membentang hamparan rumput awas, jalan setapak itu agak berlumut sebelah sana kebun bunga aneka rupa ada mawar, tentu saja, dan anggrek langka dekat jalan berliku-liku di sebelah sana ditanam ubi jalar, ditanam jagung pula kadang kami suka mendapat rejeki dikirimi jagung manis dan ubi kalau si empunya kebetulan mampir ke rumahnya sendiri, istilahnya: parkir ya, ia memang jarang pulang ke mari dalam setahun hanya beberapa hari soalnya ia punya apartemen di Singapura di LA dan entah di mana di Eropa tapi konon ia lebih sering di Hong Kong jalan-jalan atau sekedar nongkrong anak-cucunya pun tak punya waktu lagi mengurus rumah yang astagfirulah ini sebab sangat amat sibuk sekali dengan bisnis mereka sendiri-sendiri di rumah ini sepanjang tahun ada belasan pembantu dan tukang kebun yang sudah menyatu dengan aneka unggas di dalam sangkar, menatap ke alam bebas Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
Sajak Pertemuan Mahasiswa

AYAT-AYAT TOKYO Karya: Sapardi Djoko Damono

AYAT-AYAT TOKYO Karya: Sapardi Djoko Damono /1/ angin memahatkan tiga panah kata di kelopak sakura– ada yang diam-diam membacanya /2/ ada kuntum melayang jatuh air tergelincir dari payung itu; “kita bergegas,” katanya /3/ kita pandang daun bermunculan kita pandang bunga berguguran kita diam: berpandangan /4/ kemarin tak berpangkal, besok tak berujung– tak tahu mesti ke mana angin menyambut bunga gugur itu /5/ lengking sakura– tapi angin tuli dan langit buta /6/ menjelma burung gereja menghirup langit dalam-dalam– angin musim semi Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
Sajak Makna Sebuah Titipan

JAKARTA JULI 1996 Karya: Sapardi Djoko Damono

JAKARTA JULI 1996 Karya: Sapardi Djoko Damono Katamu kemarin telah terjadi ribut-ribut di sini. Sia-sia pidato, yel, teriakan, umpatan, rintihan, derum truk, semprotan air, dan tembakan masih terekam lirih sekali di got dan selokan yang mampet. Aku seperti mengenali suaramu di sela-sela ribut-ribut yang lirih itu, tapi sungguh mati aku tak tahu kau ini sebenarnya sang pemburu atau hewan yang luka itu Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
DALAM SETIAP DIRI KITA Karya: Sapardi Djoko Damono

DALAM SETIAP DIRI KITA Karya: Sapardi Djoko Damono

DALAM SETIAP DIRI KITA Karya: Sapardi Djoko Damono Dalam setiap diri kita, berjaga-jaga segerombolan serigala. Di ujung kampung, lerat pengeras suara, para kyai menanyai setiap selokan, setiap lubang di tengah jalan, dan setiap tikungan; para pendeta menghardik setiap pagar, setiap pintu yang terbuka, dan setiap pekarangan. Gamelan jadi langka. Di keramaian kota kita mencari burung-burung yang diusir dari perbukitan dan suka bertengger sepanjang kabel listrik, yang mendadak lenyap begitu saja sejak sering terdengar suara senapan angin orang-orang berseragam itu. Entah kena sawan apa, rombongan sulap itu membakar kota sebagai permainannya. Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
BUNGA RANDU ALAS

BUNGA RANDU ALAS Karya: Sapardi Djoko Damono

BUNGA RANDU ALAS Karya: Sapardi Djoko Damono           Bunga randu alas itu telah merekah, dan angin kemarau yang malam hari suka jadi sejuk sering lewat di sana. “Kenapa selalu terbayang bara sisa ketika kutatap bunga itu,” kata angin yang diam-diam terlanjur telah mencintainya. “Kenapa bukan warna subuh, atau setidaknya batu delima, atau apa saja asal bukan bara sisa.”           Pohon randu alas itu menjulang di kuburan samping rumah kami; setiap kemarau bunga-bunganya yang merah suka melengking, bahkan sampai larut malam. Angin, yang sering terjepit di antara batang bambu, telah jatuh cinta padanya–hanya Tuhan yang tahu kenapa jadi begitu.           Angin itu jugalah yang bersijingkat mengantar lengking bunga itu sampai ke sudut-sudut paling jauh dalam tidur nyenyakku. Dalam lengking bunga itulah tersirat lirih suaranya sendiri, “Mengapa bara sisa yang terbayang, dan buka kobaran api?” Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
TENTANG MAHASISWA YANG MATI, 1996 Karya: Sapardi Djoko Damono

TENTANG MAHASISWA YANG MATI, 1996 Karya: Sapardi Djoko Damono

TENTANG MAHASISWA YANG MATI, 1996 Karya: Sapardi Djoko Damono Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut rame-rame hari itu. Aku tak mengenalnya, hanya dari koran, tidak begitu jelas memang, kenapanya atau bagaimananya (bukankah semuanya demikian juga?) tetapi rasanya cukup alasan untuk mencintainya. Ia bukan mahasiswaku. Dalam kelas mungkin saja ia suka ngantuk, atau selalu tampak sibuk mencatat, atau diam saja kalau ditanya, atau sudah terlanjur bodoh sebab ikut saja setiap ucapan gurunya. Atau malah terlalu suka membaca sehingga semua guru jadi asing baginya. Dan tiba-tiba saja, begitu saja, hari itu ia mati; begitu berita yang ada di koran pagi ini– entah kenapa aku mencintainya karena itu. Aneh, koran ternyata bisa juga membuat hubungan antara yang hidup dan yang mati, yang tak saling mengenal. Siapa namanya, mungkin disebut di koran, tapi aku tak ingat lagi, dan mungkin juga tak perlu peduli. Ia telah mati hari itu–dan ada saja yang jadi ribut. Di negeri orang mati, mungkin ia sempat merasa was-was akan nasib kita yang telah meributkan mahasiswa mati. Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
KURCACI Karya: Joko Pinurbo

KURCACI Karya: Joko Pinurbo

KURCACI Karya: Joko Pinurbo Kata-kata adalah kurcaci yang muncul tengah malam dan ia bukan pertapa suci yang kebal terhadap godaan. Kurcaci merubung tubuhnya yang berlumuran darah, sementara pena yang dihunusnya belum mau patah. (1998) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
PERTEMUAN Karya: Joko Pinurbo

PERTEMUAN Karya: Joko Pinurbo

PERTEMUAN Karya: Joko Pinurbo Ketika pulang, yang kutemu di dalam rumah hanya ranjang bobrok, onggokan popok, bau ompol, jerit tangis berkepanjangan, dan tumpukan mainan yang tinggal rongsokan. Di sudut kamar kulihat ibu masih suntuk berjaga, menjahit sarung dan celana yang makin meruyak koyaknya oleh gesekan-gesekan cinta dan usia. “Di mana Ayah?” aku menyapa dalam hening suara. “Biasanya Ayah khusyuk membaca di depan jendela.” “Ayah pergi mencari kamu,” sahutnya. “Sudah tiga puluh tahun ia meninggalkan Ibu.” “Baiklah, akan saya cari Ayah sampai ketemu. Selamat menjahit ya, Bu.” Di depan pintu aku berjumpa lelaki tua dengan baju usang, celana congklang. “Kok tergesa,” ia menyapa. “Kita mabuk-mabuk dululah.” “Kok baru pulang,” aku berkata. “Dari mana saja? Main judi ya?” “Saya habis berjuang mencari anak saya, 30 tahun lamanya. Sampeyan hendak ngeluyur ke mana?” “Saya hendak berjuang mencari ayah saya. Sudah 30 tahun saya tak mendengar dengkurnya.” Ia menatapku, aku menatapnya. “Selamat minggat,” ujarnya sambil mencubit pipiku. “Selamat ngorok,” ucapku sambil kucubit janggutnya. Ia siap melangkah ke dalam rumah, aku siap berangkat meninggalkan rumah. Dan dari dalam rumah Ibu berseru, “Duel sajalah!” (1998) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
DAERAH TERLARANG Karya: Joko Pinurbo

DAERAH TERLARANG Karya: Joko Pinurbo

DAERAH TERLARANG Karya: Joko Pinurbo Tiba di ranjang, setelah lama menggelandang ia memasuki daerah terlarang. Ranjang telah dikelilingi pagar kawat berduri dan ada anjing galak siap menghalau pencuri. “Kawasan Bebas Seks,” bunyi sebuah papan peringatan. Tak terdengar lagi cinta. Tak terdengar lagi ajal yang meronta pada tubuh yang digelinjang nafsu dalam nafas yang mendesah ah, mengeluh uh. Memang ada yang masih bermukim di ranjang: merawat ketiak, mengurus lemak, dan dengan membelalak ia membentak, “Pergi! Tak ada seks di sini.” “Kau kalah,” katanya. “Dulu kautinggalkan ranjang, sekarang hendak kaurampas sisa cinta yang kuawetkan.” “Tunggu pembalasanku,” timpalnya, “suatu saat aku akan datang lagi.” “Kutunggu kau di sini,” ia menantang, “akan kukubur jasadmu di bawah ranjang.” Ia pun pergi meninggalkan daerah terlarang dengan langkah seorang pecundang. “Tunggu!” teriak seseorang dari dalam ranjang. Tapi ia hanya menoleh dan mengepalkan tangan. (1998) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

Laman sastra Indonesia hadir sebagai portal yang memungkinkan kita untuk menelusuri, memahami, dan menikmati berbagai karya sastra

Menu Laman Sastra