KORBAN Karya: Joko Pinurbo

KORBAN Karya: Joko Pinurbo

KORBAN Karya: Joko Pinurbo Darah berceceran di atas ranjang. Jejak-jekak kaki pemburu membawa kami tersesat di tengah hutan. Siapakah korban yang telah terbantai di malam yang begini tenang dan damai? Terdengar jerit lengking perempuan yang terluka dan gagak-gagak datang menjemput ajalnya. Tapi perempuan anggun itu tiba-tiba muncul dari balik kegelapan dan dengan angkuh dilemparkannya bangkai pemburu yang malang. “Beginilah jika ada yang lancang mengusik jagat mimpiku yang tenteram. Hanya aku penguasa di wilayah ranjang.” (1996) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
KERANDA Karya: Joko Pinurbo

KERANDA Karya: Joko Pinurbo

KERANDA Karya: Joko Pinurbo Ranjang meminta kembali tubuh yang pernah dilahirkan dan diasuhnya dengan sepenuh cinta. “Semoga anakku yang pemberani, yang jauh merantau ke negeri-negeri igauan, menemukan jalan untuk pulang; pun jika aku sudah lapuk dan karatan.” Tapi tubuh sudah begitu jauh mengembara. Kalaupun sesekali datang, ia datang hanya untuk menabung luka. Dan ketika akhirnya pulang, ia sudah mayat tinggal rangka. Bagai si buta yang renta dan terbata-bata ia mengetuk-ngetuk pintu: “Ibu!” Ranjang yang demikian tegar lagi penyabar memeluknya erat: “Aku rela jadi keranda untukmu.” (1996) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
BERTELUR Karya Joko Pinurbo

BERTELUR Karya Joko Pinurbo

BERTELUR Karya: Joko Pinurbo Dengan perjuangan berat, alhamdulillah akhirnya aku bisa bertelur. Telurku lahir dengan selamat, warnanya hitam pekat. Aku ini seorang peternak: saban hari mengembangbiakkan kata dan belum kudapatkan kata yang bisa mengucapkan kita. Kata yang kucari, konon, ada di dalam telurku itu. Kuperam telurku di ranjang kata-kata yang sudah lama tak lagi melahirkan kata. Kuerami ia saban malam sampai tubuhku demam dan mulutku penuh igauan. Kalau aku lagi asyik mengeram, diam-diam telurku suka meloncat, memantul-mantul di lantai, kemudian menggelinding pelan ke toilet, dan ketika hampir saja nyemplung ke lubang kloset cepat-cepat ia kutangkap dan kubawa pulang ke ranjang. Mana telurku? Tiba-tiba banyak orang merasa kehilangan telur dan mengira aku telah mencurinya dari ranjang mereka. Ah telur kata, telur derita, akhirnya kau menetas juga. Kau menggelembung., memecah, memuncratkan darah. Itu bukan telurku! (2001) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
TANPA CELANA AKU DATANG MENJEMPUTMU Karya: Joko Pinurbo

TANPA CELANA AKU DATANG MENJEMPUTMU Karya: Joko Pinurbo

TANPA CELANA AKU DATANG MENJEMPUTMU Karya: Joko Pinurbo :Wibi Empat puluh tahun yang lampau kutinggalkan kau di kamar mandi, dan aku pun pergi merantau di saat kau masih hijau. Kau menangis: “Pergilah kau, kembalilah kau!” Kini, tanpa celana, aku datang menjemputmu di kamar mandi yang bertahun-tahun mengasuhmu. Seperti pernah kau katakan dalam suratmu, “Jemputlah aku malam Minggu, bawakan aku celana baru.” Di kamar mandi yang remang-remang itu kau masih suntuk membaca buku. Kaulepas kacamatamu dan kau terpana melihatku tanpa celana. Sebab celanaku tinggal satu dan seluruhnya kurelakan untukmu. “Hore, aku punya celana baru!” kau berseru. Kupeluk tubuhmu yang penuh goresan waktu. (2002) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
NAIK BUS DI JAKARTA Karya: Joko Pinurbo

NAIK BUS DI JAKARTA Karya: Joko Pinurbo

NAIK BUS DI JAKARTA Karya: Joko Pinurbo – untuk Clink Sopirnya sepuluh, kernetnya sepuluh, kondekturnya sepuluh, pengawalnya sepuluh, perampoknya sepuluh. Penumpangnya satu, kurus, dari tadi tidur melulu; kusut matanya, kerut keningnya seperti gambar peta yang ruwet sekali. Sampai di terminal kondektur minta ongkos: “Sialah, belum bayar sudah mati!” (1999) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
KEPADA CIUM Karya: Joko Pinurbo

KEPADA CIUM Karya: Joko Pinurbo

KEPADA CIUM Karya: Joko Pinurbo Seperti anak rusa menemukan sarang air di celah batu karang tersembunyi, seperti gelandangan kecil menenggak sebotol mimpi di bawah rindang matahari, malam ini aku mau minum di bibirmu. Seperti mulut kata mendapatkan susu sepi yang masih hangat dan murni, seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri pada luka lambung yang tak terobati. (2006) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
DI PERJAMUAN Karya: Joko Pinurbo

PUISI DI PERJAMUAN Karya: Joko Pinurbo

DI PERJAMUAN Karya: Joko Pinurbo Aku tak akan minta anggur darahMu lagi. Yang tahun lalu saja belum habis, masih tersimpan di kulkas. Maaf, aku sering lupa meminumnya, kadang bahkan lupa rasanya. Aku belum bisa menjadi pemabuk yang baik dan benar, Sayang. (2006) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
PUISI PATROLI Karya: Joko Pinurbo

PUISI PATROLI Karya: Joko Pinurbo

PATROLI Karya: Joko Pinurbo Iring-iringan panser mondar-mandir di jalur-jalur rawan di seantero sajakku. Di sebuah sudut yang agak gelap komandan melihat kelebat seorang demonstran yang gerak-geriknya dianggap mencurigakan. Pasukan disiagakan dan diperintahkan untuk memblokir setiap jalan. Semua mendadak panik. Kata-kata kocar-kacir dan tiarap seketika. Komandan berteriak, “Kalian sembunyikan di mana penyair kurus yang tubuhnya seperti jerangkong itu? Pena yang baru diasahnya sangat tajam dan berbahaya.” Seorang peronda memberanikan diri angkat bicara, “Dia sakit perut, Komandan, lantas terbirit-birit ke dalam kakus. Mungkin dia lagi bikin aksi di sana.” “Sialan!” umpat komandan geram sekali, lalu memerintahkan pasukan melanjutkan patroli. Di huruf terakhir sajakku si jerangkong itu tiba-tiba muncul dari dalam kakus sambil menepuk-nepuk perutnya. “Lega,” katanya. Maka kata-kata yang tadi gemetaran serempak bersorak dan merapatkan diri ke posisi semula. Di kejauhan terdengar letusan, api sedang melahap dan menghanguskan mayat-mayat korban. (1998) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
Bahawa Kita Ditatang Seratus Dewa

Bahawa Kita Ditatang Seratus Dewa ~ W.S Rendra

Bahawa Kita Ditatang Seratus Dewa ~ W.S Rendra Aku tulis sajak ini untuk menghibur hatimu Sementara engkau kenangkan encokmu kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang Dan juga masa depan kita yang hampir rampung dan dengan lega akan kita lunaskan. Kita tidaklah sendiri dan terasing dengan nasib kita Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan. Suka duka kita bukanlah istimewa kerana setiap orang mengalaminya Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh Hidup adalah untuk mengolah hidup bekerja membalik tanah memasuki rahsia langit dan samodra serta mencipta dan mengukir dunia. Kita menyandang tugas, kerna tugas adalah tugas. Bukannya demi sorga atau neraka. tetapi demi kehormatan seorang manusia. kerana sesungguhnya kita bukanlah debu meski kita telah reyot,tua renta dan kelabu. Kita adalah kepribadian dan harga kita adalah kehormatan kita. Tolehlah lagi ke belakang ke masa silam yang tak seorang pun berkuasa menghapusnya. Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna. Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita. sembilan puluh tahun yang selalu bangkit melewatkan tahun-tahun lama yang porak peranda. Dan kenangkanlah pula bagaimana dahulu kita tersenyum senantiasa menghadapi langit dan bumi,dan juga nasib kita. Kita tersenyum bukanlah kerana bersandiwara. Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok. Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap. Sikap kita untuk Tuhan,manusia sesama,nasib dan kehidupan. Lihatlah! sembilan puluh tahun penuh warna Kenangkanlah bahawa kita telah selalu menolak menjadi koma. Kita menjadi goyah dan bongkok kerna usia nampaknya lebih kuat dr kita tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan. Aku tulis sajak ini untuk menghibur hatimu Sementara kau kenangkan encokmu kenangkanlah pula bahwa hidup kita ditatang seratus dewa. W.S Rendra 1972  

BACA SELANJUTNYA »

Laman sastra Indonesia hadir sebagai portal yang memungkinkan kita untuk menelusuri, memahami, dan menikmati berbagai karya sastra

Menu Laman Sastra