Sajak Makna Sebuah Titipan

JAKARTA JULI 1996 Karya: Sapardi Djoko Damono

JAKARTA JULI 1996 Karya: Sapardi Djoko Damono Katamu kemarin telah terjadi ribut-ribut di sini. Sia-sia pidato, yel, teriakan, umpatan, rintihan, derum truk, semprotan air, dan tembakan masih terekam lirih sekali di got dan selokan yang mampet. Aku seperti mengenali suaramu di sela-sela ribut-ribut yang lirih itu, tapi sungguh mati aku tak tahu kau ini sebenarnya sang pemburu atau hewan yang luka itu Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
DALAM SETIAP DIRI KITA Karya: Sapardi Djoko Damono

DALAM SETIAP DIRI KITA Karya: Sapardi Djoko Damono

DALAM SETIAP DIRI KITA Karya: Sapardi Djoko Damono Dalam setiap diri kita, berjaga-jaga segerombolan serigala. Di ujung kampung, lerat pengeras suara, para kyai menanyai setiap selokan, setiap lubang di tengah jalan, dan setiap tikungan; para pendeta menghardik setiap pagar, setiap pintu yang terbuka, dan setiap pekarangan. Gamelan jadi langka. Di keramaian kota kita mencari burung-burung yang diusir dari perbukitan dan suka bertengger sepanjang kabel listrik, yang mendadak lenyap begitu saja sejak sering terdengar suara senapan angin orang-orang berseragam itu. Entah kena sawan apa, rombongan sulap itu membakar kota sebagai permainannya. Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
BUNGA RANDU ALAS

BUNGA RANDU ALAS Karya: Sapardi Djoko Damono

BUNGA RANDU ALAS Karya: Sapardi Djoko Damono           Bunga randu alas itu telah merekah, dan angin kemarau yang malam hari suka jadi sejuk sering lewat di sana. “Kenapa selalu terbayang bara sisa ketika kutatap bunga itu,” kata angin yang diam-diam terlanjur telah mencintainya. “Kenapa bukan warna subuh, atau setidaknya batu delima, atau apa saja asal bukan bara sisa.”           Pohon randu alas itu menjulang di kuburan samping rumah kami; setiap kemarau bunga-bunganya yang merah suka melengking, bahkan sampai larut malam. Angin, yang sering terjepit di antara batang bambu, telah jatuh cinta padanya–hanya Tuhan yang tahu kenapa jadi begitu.           Angin itu jugalah yang bersijingkat mengantar lengking bunga itu sampai ke sudut-sudut paling jauh dalam tidur nyenyakku. Dalam lengking bunga itulah tersirat lirih suaranya sendiri, “Mengapa bara sisa yang terbayang, dan buka kobaran api?” Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
TENTANG MAHASISWA YANG MATI, 1996 Karya: Sapardi Djoko Damono

TENTANG MAHASISWA YANG MATI, 1996 Karya: Sapardi Djoko Damono

TENTANG MAHASISWA YANG MATI, 1996 Karya: Sapardi Djoko Damono Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut rame-rame hari itu. Aku tak mengenalnya, hanya dari koran, tidak begitu jelas memang, kenapanya atau bagaimananya (bukankah semuanya demikian juga?) tetapi rasanya cukup alasan untuk mencintainya. Ia bukan mahasiswaku. Dalam kelas mungkin saja ia suka ngantuk, atau selalu tampak sibuk mencatat, atau diam saja kalau ditanya, atau sudah terlanjur bodoh sebab ikut saja setiap ucapan gurunya. Atau malah terlalu suka membaca sehingga semua guru jadi asing baginya. Dan tiba-tiba saja, begitu saja, hari itu ia mati; begitu berita yang ada di koran pagi ini– entah kenapa aku mencintainya karena itu. Aneh, koran ternyata bisa juga membuat hubungan antara yang hidup dan yang mati, yang tak saling mengenal. Siapa namanya, mungkin disebut di koran, tapi aku tak ingat lagi, dan mungkin juga tak perlu peduli. Ia telah mati hari itu–dan ada saja yang jadi ribut. Di negeri orang mati, mungkin ia sempat merasa was-was akan nasib kita yang telah meributkan mahasiswa mati. Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »

Laman sastra Indonesia hadir sebagai portal yang memungkinkan kita untuk menelusuri, memahami, dan menikmati berbagai karya sastra

Menu Laman Sastra