Doa Di Jakarta

Doa Di Jakarta ~ W.S Rendra

Doa Di Jakarta ~ W.S Rendra Tuhan yang Maha Esa, alangkah tegangnya melihat hidup yang tergadai, fikiran yang dipabrikkan, dan masyarakat yang diternakkan. Malam rebah dalam udara yang kotor. Di manakah harapan akan dikaitkan bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan? Dendam diasah di kolong yang basah siap untuk terseret dalam gelombang edan. Perkelahian dalam hidup sehari-hari telah menjadi kewajaran. Pepatah dan petitih tak akan menyelesaikan masalah bagi hidup yang bosan, terpenjara, tanpa jendela. Tuhan yang Maha Faham, alangkah tak masuk akal jarak selangkah yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh, yang memisahkan sebuah halaman bertaman tanaman hias dengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C. Hati manusia telah menjadi acuh, panser yang angkuh, traktor yang dendam. Tuhan yang Maha Rahman, ketika air mata menjadi gombal, dan kata-kata menjadi lumpur becek, aku menoleh ke utara dan ke selatan – di manakah Kamu? Di manakah tabungan keramik untuk wang logam? Di manakah catatan belanja harian? Di manakah peradaban? Ya, Tuhan yang Maha Hakim, harapan kosong, optimisme hampa. Hanya akal sihat dan daya hidup menjadi peganganku yang nyata. ~ W.S Rendra  

BACA SELANJUTNYA »
Sajak Makna Sebuah Titipan

Sajak Makna Sebuah Titipan ~ WS Rendra

Sajak Makna Sebuah Titipan ~ WS Rendra Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku, bahwa : sesungguhnya ini hanya titipan, bahwa mobilku hanya titipan Allah bahwa rumahku hanya titipan Nya, bahwa hartaku hanya titipan Nya, bahwa putraku hanya titipan Nya, tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku? Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini? Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku? Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya? Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka, kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita. Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku. Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika: aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku. Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih. Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku, Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah… “ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja” ~ WS Rendra  

BACA SELANJUTNYA »
Sajak Nyanyian Suto

Sajak Nyanyian Suto Untuk Fatima – WS Rendra

Sajak Nyanyian Suto Untuk Fatima – WS Rendra Dua puluh tiga matahari bangkit dari pundakmu. Tubuhmu menguapkan bau tanah dan menyalalah sukmaku. Langit bagai kain tetiron yang biru terbentang berkilat dan berkilauan menantang jendela kalbu yang berdukacita. Rohku dan rohmu bagaikan proton dan elektron bergolak bergolak Di bawah dua puluh tiga matahari. Dua puluh tiga matahari membakar dukacitaku. Nyanyian Fatima untuk Suto Kelambu ranjangku tersingkap di bantal berenda tergolek nasibku. Apabila firmanmu terucap masuklah kalbuku ke dalam kalbumu. Sedu-sedan mengetuk tingkapku dari bumi di bawah rumpun mawar. Waktu lahir kau telanjang dan tak tahu tapi hidup bukanlah tawar-menawar. ~WS Rendra  

BACA SELANJUTNYA »
Nina Bobok Bagi Pengantin

Nina Bobok Bagi Pengantin ~ W.S Rendra

Nina Bobok Bagi Pengantin ~ W.S Rendra Awan bergoyang, pohonan bergoyang antara pohonan bergoyang malaikat membayang dari jauh bunyi merdu loceng loyang Sepi, syahdu, rindu candu rindu, ghairah kelabu rebahlah, sayang, rebahlah wajahmu ke dadaku Langit lembayung, pucuk-pucuk daun lembayung antara daunan lembayung bergantung hati yang ruyung dalam hawa bergulung mantera dan tenung Mimpi remaja, bulan kenangan duka cinta, duka berkilauan rebahlah sayang, rebahkan mimpimu ke dadaku Bumi berangkat tidur duka berangkat hancur aku tampung kau dalam pelukan tangan rindu Sepi dan tidur, tidur dan sepi sepi tanpa mati, tidur tanpa mati rebahlah sayang, rebahkan dukamu ke dadaku. ~ W.S Rendra Dipetik dari 4 Kumpulan Sajak  

BACA SELANJUTNYA »
Sajak Burung-Burung Kondor

Sajak Burung-Burung Kondor – WS Rendra

Sajak Burung-Burung Kondor – WS Rendra Angin gunung turun merembes ke hutan, lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas, dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau. Kemudian hatinya pilu melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh yang terpacak di atas tanah gembur namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya. Para tani – buruh bekerja, berumah di gubug-gubug tanpa jendela, menanam bibit di tanah yang subur, memanen hasil yang berlimpah dan makmur namun hidup mereka sendiri sengsara. Mereka memanen untuk tuan tanah yang mempunyai istana indah. Keringat mereka menjadi emas yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa. Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan, para ahli ekonomi membetulkan letak dasi, dan menjawab dengan mengirim kondom. Penderitaan mengalir dari parit-parit wajah rakyatku. Dari pagi sampai sore, rakyat negeriku bergerak dengan lunglai, menggapai-gapai, menoleh ke kiri, menoleh ke kanan, di dalam usaha tak menentu. Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah, dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai, dan sukmanya berubah menjadi burung kondor. Beribu-ribu burung kondor, berjuta-juta burung kondor, bergerak menuju ke gunung tinggi, dan disana mendapat hiburan dari sepi. Karena hanya sepi mampu menghisap dendam dan sakit hati. Burung-burung kondor menjerit. Di dalam marah menjerit, bergema di tempat-tempat yang sepi. Burung-burung kondor menjerit di batu-batu gunung menjerit bergema di tempat-tempat yang sepi Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu, mematuki batu-batu, mematuki udara, dan di kota orang-orang bersiap menembaknya. WS Rendra  

BACA SELANJUTNYA »
NYANYIAN ANGSA karya W.S Rendra

NYANYIAN ANGSA karya W.S Rendra

NYANYIAN ANGSA karya W.S Rendra Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya: “Sudah dua minggu kamu berbaring. Sakitmu makin menjadi. Kamu tak lagi hasilkan uang. Malahan kapadaku kamu berhutang. Ini beaya melulu. Aku tak kuat lagi. Hari ini kamu harus pergi.” (Malaikat penjaga Firdaus. Wajahnya tegas dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Maka darahku terus beku. Maria Zaitun namaku. Pelacur yang sengsara. Kurang cantik dan agak tua). Jam dua-belas siang hari. Matahari terik di tengah langit. Tak ada angin. Tak mega. Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran. Tanpa koper. Tak ada lagi miliknya. Teman-temannya membuang muka. Sempoyongan ia berjalan. Badannya demam. Sipilis membakar tubuhnya. Penuh borok di klangkang di leher, di ketiak, dan di susunya. Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah. Sakit jantungnya kambuh pula. Ia pergi kepada dokter. Banyak pasien lebih dulu menunggu. Ia duduk di antara mereka. Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka. Ia meledak marah tapi buru-buru jururawat menariknya. Ia diberi giliran lebih dulu dan tak ada orang memprotesnya. “Maria Zaitun, utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter. “Ya,” jawabnya. “Sekarang uangmu brapa?” “Tak ada.” Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang. Ia kesakitan waktu membuka baju sebab bajunya lekat di borok ketiaknya. “Cukup,” kata dokter. Dan ia tak jadi mriksa. Lalu ia berbisik kepada jururawat: “Kasih ia injeksi vitamin C.” Dengan kaget jururawat berbisik kembali: “Vitamin C? Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.” “Untuk apa? Ia tak bisa bayar. Dan lagi sudah jelas ia hampir mati. Kenapa mesti dikasih obat mahal yang diimport dari luar negri?” (Malaikat penjaga Firdaus. Wajahnya iri dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Aku gemetar ketakutan. Hilang rasa. Hilang pikirku. Maria Zaitun namaku. Pelacur yang takut dan celaka.) Jam satu siang. Matahari masih dipuncak. Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu. Dan aspal jalan yang jelek mutunya lumer di bawah kakinya. Ia berjalan menuju gereja. Pintu gereja telah dikunci. Karna kuatir akan pencuri. Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu. Koster ke luar dan berkata: “Kamu mau apa? Pastor sedang makan siang. Dan ini bukan jam bicara.” “Maaf. Saya sakit. Ini perlu.” Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau. Lalu berkata: “Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu. Aku lihat apa pastor mau terima kamu.” Lalu koster pergi menutup pintu. Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan. Ada satu jam baru pastor datang kepadanya. Setelah mengorek sisa makanan dari giginya ia nyalakan crutu, lalu bertanya: “Kamu perlu apa?” Bau anggur dari mulutnya. Selopnya dari kulit buaya. Maria Zaitun menjawabnya: “Mau mengaku dosa.” “Tapi ini bukan jam bicara. Ini waktu saya untuk berdo’a.” “Saya mau mati.” “Kamu sakit?” “Ya. Saya kena rajasinga.” Mendengar ini pastor mundur dua tindak. Mukanya mungkret. Akhirnya agak keder ia kembali bersuara: “Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?” “Saya pelacur. Ya.” “Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!” “Ya.” “Santo Petrus!” Tiga detik tanpa suara. Matahari terus menyala. Lalu pastor kembali bersuara: “Kamu telah tergoda dosa.” “Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.” “Kamu telah terbujuk setan.” “Tidak. Saya terdesak kemiskinan. Dan gagal mencari kerja.” “Santo Petrus!” “Santo Petrus! Pater, dengarkan saya. Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya. Yang nyata hidup saya sudah gagal. Jiwa saya kalut. Dan saya mau mati. Sekarang saya takut sekali. Saya perlu Tuhan atau apa saja untuk menemani saya.” Dan muka pastor menjadi merah padam. Ia menuding Maria Zaitun. “Kamu galak seperti macan betina. Barangkali kamu akan gila. Tapi tak akan mati. Kamu tak perlu pastor. Kamu perlu dokter jiwa.” (Malaekat penjaga firdaus wajahnya sombong dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Aku lesu tak berdaya. Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara. Maria Zaitun namaku. Pelacur yang lapar dan dahaga.) Jam tiga siang. Matahari terus menyala. Dan angin tetap tak ada. Maria Zaitun bersijingkat di atas jalan yang terbakar. Tiba-tiba ketika nyebrang jalan ia kepleset kotoran anjing. Ia tak jatuh tapi darah keluar dari borok di klangkangnya dan meleleh ke kakinya. Seperti sapi tengah melahirkan ia berjalan sambil mengangkang. Di dekat pasar ia berhenti. Pandangnya berkunang-kunang. Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar. Orang-orang pergi menghindar. Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran. Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan. Kemudian ia bungkus hati-hati dengan daun pisang. Lalu berjalan menuju ke luar kota. (Malaekat penjaga firdaus wajahnya dingin dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Yang Mulya, dengarkanlah aku. Maria Zaitun namaku. Pelacur lemah, gemetar ketakutan.) Jam empat siang. Seperti siput ia berjalan. Bungkusan sisa makanan masih di tangan belum lagi dimakan. Keringatnya bercucuran. Rambutnya jadi tipis. Mukanya kurus dan hijau seperti jeruk yang kering. Lalu jam lima. Ia sampai di luar kota. Jalan tak lagi beraspal tapi debu melulu. Ia memandang matahari dan pelan berkata: “Bedebah.” Sesudah berjalan satu kilo lagi ia tinggalkan jalan raya dan berbelok masuk sawah berjalan di pematang. (Malaekat penjaga firdaus wajahnya tampan dan dengki dengan pedang yang menyala mengusirku pergi. Dan dengan rasa jijik ia tusukkan pedangnya perkasa di antara kelangkangku. Dengarkan, Yang Mulya. Maria Zaitun namaku. Pelacur yang kalah. Pelacur terhina). Jam enam sore. Maria Zaitun sampai ke kali. Angin bertiup. Matahari turun. Haripun senja. Dengan lega ia rebah di pinggir kali. Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya. Lalu ia makan pelan-pelan. Baru sedikit ia berhenti. Badannya masih lemas tapi nafsu makannya tak ada lagi. Lalu ia minum air kali. (Malaekat penjaga firdaus tak kau rasakah bahwa senja telah tiba angin turun dari gunung dan hari merebahkan badannya? Malaekat penjaga firdaus dengan tegas mengusirku. Bagai patung ia berdiri. Dan pedangnya menyala.) Jam tujuh. Dan malam tiba. Serangga bersuiran. Air kali terantuk batu-batu. Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang dan mengkilat di bawah sinar bulan. Maria Zaitun tak takut lagi. Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya. Mandi di kali dengan ibunya. Memanjat pohonan. Dan memancing ikan dengan pacarnya. Ia tak lagi merasa sepi. Dan takutnya pergi. Ia merasa bertemu sobat lama. Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya. Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya. Ia jadi berduka. Dan mengadu pada sobatnya sembari menangis tersedu-sedu. Ini tak baik buat penyakit jantungnya. (Malaekat penjaga firdaus wajahnya dingin dan dengki. Ia tak mau mendengar jawabku. Ia tak

BACA SELANJUTNYA »
Paman Doblang – WS Rendra

Paman Doblang – WS Rendra

Paman Doblang – WS Rendra Paman Doblang! Paman Doblang! Mereka masukkan kamu ke dalam sel yang gelap. Tanpa lampu. Tanpa lubang cahaya. Pengap. Ada hawa. Tak ada angkasa. Terkucil. Temanmu beratus-ratus nyamuk semata. Terkunci. Tak tahu di mana berada. Paman Doblang! Paman Doblang! Apa katamu? Ketika haus aku minum dari kaleng karatan. Sambil bersila aku mengharungi waktu lepas dari jam, hari dan bulan Aku dipeluk oleh wibawa tidak berbentuk tidak berupa, tidak bernama. Aku istirah di sini. Tenaga ghaib memupuk jiwaku. Paman Doblang! Paman Doblang! Di setiap jalan mengadang mastodon dan serigala. Kamu terkurung dalam lingkaran. Para pengeran meludahi kamu dari kereta kencana. Kaki kamu dirantai ke batang karang. Kamu dikutuk dan disalahkan. Tanpa pengadilan. Paman Doblang! Paman Doblang! Bubur di piring timah didorong dengan kaki ke depanmu Paman Doblang, apa katamu? Kesedaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakerawala. Dan perjuangan adalah perlaksanaan kata-kata. Sajak Rendra (Depok, 22 April 1984)  

BACA SELANJUTNYA »
Puisi WS Rendra Sajak Gadis Dan Majikan

Puisi WS Rendra Sajak Gadis Dan Majikan

Puisi WS Rendra Sajak Gadis Dan Majikan Janganlah tuan seenaknya memelukku. Ke mana arahnya, sudah cukup aku tahu. Aku bukan ahli ilmu menduga, tetapi jelas sudah kutahu pelukan ini apa artinya….. Siallah pendidikan yang aku terima. Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing, kerapian, dan tatacara, Tetapi lupa diajarkan : bila dipeluk majikan dari belakang, lalu sikapku bagaimana ! Janganlah tuan seenaknya memelukku. Sedangkan pacarku tak berani selangsung itu. Apakah tujuan tuan, sudah cukup aku tahu, Ketika tuan siku teteku, sudah kutahu apa artinya…… Mereka ajarkan aku membenci dosa tetapi lupa mereka ajarkan bagaimana mencari kerja. Mereka ajarkan aku gaya hidup yang peralatannya tidak berasal dari lingkungan. Diajarkan aku membutuhkan peralatan yang dihasilkan majikan, dan dikuasai para majikan. Alat-alat rias, mesin pendingin, vitamin sintetis, tonikum, segala macam soda, dan ijazah sekolah. Pendidikan membuatku terikat pada pasar mereka, pada modal mereka. Dan kini, setelah aku dewasa. Kemana lagi aku ‘kan lari, bila tidak ke dunia majikan ? Jangnlah tuan seenaknya memelukku. Aku bukan cendekiawan tetapi aku cukup tahu semua kerja di mejaku akan ke sana arahnya. Jangan tuan, jangan ! Jangan seenaknya memelukku. Ah, Wah . Uang yang tuan selipkan ke behaku adalah ijazah pendidikanku Ah, Ya. Begitulah. Dengan yakin tuan memelukku. Perut tuan yang buncit menekan perutku. Mulut tuan yang buruk mencium mulutku. Sebagai suatu kewajaran semuanya tuan lakukan. Seluruh anggota masyarakat membantu tuan. Mereka pegang kedua kakiku. Mereka tarik pahaku mengangkang. Sementara tuan naik ke atas tubuhku.  

BACA SELANJUTNYA »
Puisi Terakhir WS Rendra

Puisi Terakhir WS Rendra – Tuhan, Aku Cinta Padamu

Puisi Terakhir WS Rendra – Tuhan, Aku Cinta Padamu Aku lemas Tapi berdaya Aku tidak sambat rasa sakit atau gatal Aku pengin makan tajin Aku tidak pernah sesak nafas Tapi tubuhku tidak memuaskan untuk punya posisi yang ideal dan wajar Aku pengin membersihkan tubuhku dari racun kimiawi Aku ingin kembali pada jalan alam Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah Tuhan, aku cinta padamu Rendra 31 July 2009 Mitra Keluarga Inilah puisi terakhir Rendra, yang dibuat pada 31 Juli di RS Mitra Keluarga Jakarta.  

BACA SELANJUTNYA »
Puisi WS Rendra Kupanggil Namamu

Puisi WS Rendra Kupanggil Namamu

Puisi WS Rendra Kupanggil Namamu Sambil menyeberangi sepi, Kupanggili namamu, wanitaku Apakah kau tak mendengar? Malam yang berkeluh kesah Memeluk jiwaku yang payah Yang resah Karena memberontak terhadap rumah Memberontak terhadap adat yang latah dan akhirnya tergoda cakrawala Sia-sia kucari pancaran matamu Ingin kuingat lagi bau tubuhmu yang kini sudah kulupa Sia-sia Tak ada yang bisa kucamkan Sempurnalah kesepianku Angin pemberontakan menyerang langit dan bumi Dan duabelas ekor serigala Muncul dari masa silamku Merobek-robek hatiku yang celaka Berulangkali kupanggil namamu Dimanakah engkau wanitaku? Apakah engkau sudah menjadi masa silamku? WS Rendra  

BACA SELANJUTNYA »