NYANYIAN ANGSA karya W.S Rendra

NYANYIAN ANGSA karya W.S Rendra

NYANYIAN ANGSA karya W.S Rendra Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya: “Sudah dua minggu kamu berbaring. Sakitmu makin menjadi. Kamu tak lagi hasilkan uang. Malahan kapadaku kamu berhutang. Ini beaya melulu. Aku tak kuat lagi. Hari ini kamu harus pergi.” (Malaikat penjaga Firdaus. Wajahnya tegas dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Maka darahku terus beku. Maria Zaitun namaku. Pelacur yang sengsara. Kurang cantik dan agak tua). Jam dua-belas siang hari. Matahari terik di tengah langit. Tak ada angin. Tak mega. Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran. Tanpa koper. Tak ada lagi miliknya. Teman-temannya membuang muka. Sempoyongan ia berjalan. Badannya demam. Sipilis membakar tubuhnya. Penuh borok di klangkang di leher, di ketiak, dan di susunya. Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah. Sakit jantungnya kambuh pula. Ia pergi kepada dokter. Banyak pasien lebih dulu menunggu. Ia duduk di antara mereka. Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka. Ia meledak marah tapi buru-buru jururawat menariknya. Ia diberi giliran lebih dulu dan tak ada orang memprotesnya. “Maria Zaitun, utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter. “Ya,” jawabnya. “Sekarang uangmu brapa?” “Tak ada.” Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang. Ia kesakitan waktu membuka baju sebab bajunya lekat di borok ketiaknya. “Cukup,” kata dokter. Dan ia tak jadi mriksa. Lalu ia berbisik kepada jururawat: “Kasih ia injeksi vitamin C.” Dengan kaget jururawat berbisik kembali: “Vitamin C? Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.” “Untuk apa? Ia tak bisa bayar. Dan lagi sudah jelas ia hampir mati. Kenapa mesti dikasih obat mahal yang diimport dari luar negri?” (Malaikat penjaga Firdaus. Wajahnya iri dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Aku gemetar ketakutan. Hilang rasa. Hilang pikirku. Maria Zaitun namaku. Pelacur yang takut dan celaka.) Jam satu siang. Matahari masih dipuncak. Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu. Dan aspal jalan yang jelek mutunya lumer di bawah kakinya. Ia berjalan menuju gereja. Pintu gereja telah dikunci. Karna kuatir akan pencuri. Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu. Koster ke luar dan berkata: “Kamu mau apa? Pastor sedang makan siang. Dan ini bukan jam bicara.” “Maaf. Saya sakit. Ini perlu.” Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau. Lalu berkata: “Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu. Aku lihat apa pastor mau terima kamu.” Lalu koster pergi menutup pintu. Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan. Ada satu jam baru pastor datang kepadanya. Setelah mengorek sisa makanan dari giginya ia nyalakan crutu, lalu bertanya: “Kamu perlu apa?” Bau anggur dari mulutnya. Selopnya dari kulit buaya. Maria Zaitun menjawabnya: “Mau mengaku dosa.” “Tapi ini bukan jam bicara. Ini waktu saya untuk berdo’a.” “Saya mau mati.” “Kamu sakit?” “Ya. Saya kena rajasinga.” Mendengar ini pastor mundur dua tindak. Mukanya mungkret. Akhirnya agak keder ia kembali bersuara: “Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?” “Saya pelacur. Ya.” “Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!” “Ya.” “Santo Petrus!” Tiga detik tanpa suara. Matahari terus menyala. Lalu pastor kembali bersuara: “Kamu telah tergoda dosa.” “Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.” “Kamu telah terbujuk setan.” “Tidak. Saya terdesak kemiskinan. Dan gagal mencari kerja.” “Santo Petrus!” “Santo Petrus! Pater, dengarkan saya. Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya. Yang nyata hidup saya sudah gagal. Jiwa saya kalut. Dan saya mau mati. Sekarang saya takut sekali. Saya perlu Tuhan atau apa saja untuk menemani saya.” Dan muka pastor menjadi merah padam. Ia menuding Maria Zaitun. “Kamu galak seperti macan betina. Barangkali kamu akan gila. Tapi tak akan mati. Kamu tak perlu pastor. Kamu perlu dokter jiwa.” (Malaekat penjaga firdaus wajahnya sombong dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Aku lesu tak berdaya. Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara. Maria Zaitun namaku. Pelacur yang lapar dan dahaga.) Jam tiga siang. Matahari terus menyala. Dan angin tetap tak ada. Maria Zaitun bersijingkat di atas jalan yang terbakar. Tiba-tiba ketika nyebrang jalan ia kepleset kotoran anjing. Ia tak jatuh tapi darah keluar dari borok di klangkangnya dan meleleh ke kakinya. Seperti sapi tengah melahirkan ia berjalan sambil mengangkang. Di dekat pasar ia berhenti. Pandangnya berkunang-kunang. Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar. Orang-orang pergi menghindar. Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran. Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan. Kemudian ia bungkus hati-hati dengan daun pisang. Lalu berjalan menuju ke luar kota. (Malaekat penjaga firdaus wajahnya dingin dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Yang Mulya, dengarkanlah aku. Maria Zaitun namaku. Pelacur lemah, gemetar ketakutan.) Jam empat siang. Seperti siput ia berjalan. Bungkusan sisa makanan masih di tangan belum lagi dimakan. Keringatnya bercucuran. Rambutnya jadi tipis. Mukanya kurus dan hijau seperti jeruk yang kering. Lalu jam lima. Ia sampai di luar kota. Jalan tak lagi beraspal tapi debu melulu. Ia memandang matahari dan pelan berkata: “Bedebah.” Sesudah berjalan satu kilo lagi ia tinggalkan jalan raya dan berbelok masuk sawah berjalan di pematang. (Malaekat penjaga firdaus wajahnya tampan dan dengki dengan pedang yang menyala mengusirku pergi. Dan dengan rasa jijik ia tusukkan pedangnya perkasa di antara kelangkangku. Dengarkan, Yang Mulya. Maria Zaitun namaku. Pelacur yang kalah. Pelacur terhina). Jam enam sore. Maria Zaitun sampai ke kali. Angin bertiup. Matahari turun. Haripun senja. Dengan lega ia rebah di pinggir kali. Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya. Lalu ia makan pelan-pelan. Baru sedikit ia berhenti. Badannya masih lemas tapi nafsu makannya tak ada lagi. Lalu ia minum air kali. (Malaekat penjaga firdaus tak kau rasakah bahwa senja telah tiba angin turun dari gunung dan hari merebahkan badannya? Malaekat penjaga firdaus dengan tegas mengusirku. Bagai patung ia berdiri. Dan pedangnya menyala.) Jam tujuh. Dan malam tiba. Serangga bersuiran. Air kali terantuk batu-batu. Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang dan mengkilat di bawah sinar bulan. Maria Zaitun tak takut lagi. Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya. Mandi di kali dengan ibunya. Memanjat pohonan. Dan memancing ikan dengan pacarnya. Ia tak lagi merasa sepi. Dan takutnya pergi. Ia merasa bertemu sobat lama. Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya. Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya. Ia jadi berduka. Dan mengadu pada sobatnya sembari menangis tersedu-sedu. Ini tak baik buat penyakit jantungnya. (Malaekat penjaga firdaus wajahnya dingin dan dengki. Ia tak mau mendengar jawabku. Ia tak

BACA SELANJUTNYA »
Paman Doblang – WS Rendra

Paman Doblang – WS Rendra

Paman Doblang – WS Rendra Paman Doblang! Paman Doblang! Mereka masukkan kamu ke dalam sel yang gelap. Tanpa lampu. Tanpa lubang cahaya. Pengap. Ada hawa. Tak ada angkasa. Terkucil. Temanmu beratus-ratus nyamuk semata. Terkunci. Tak tahu di mana berada. Paman Doblang! Paman Doblang! Apa katamu? Ketika haus aku minum dari kaleng karatan. Sambil bersila aku mengharungi waktu lepas dari jam, hari dan bulan Aku dipeluk oleh wibawa tidak berbentuk tidak berupa, tidak bernama. Aku istirah di sini. Tenaga ghaib memupuk jiwaku. Paman Doblang! Paman Doblang! Di setiap jalan mengadang mastodon dan serigala. Kamu terkurung dalam lingkaran. Para pengeran meludahi kamu dari kereta kencana. Kaki kamu dirantai ke batang karang. Kamu dikutuk dan disalahkan. Tanpa pengadilan. Paman Doblang! Paman Doblang! Bubur di piring timah didorong dengan kaki ke depanmu Paman Doblang, apa katamu? Kesedaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakerawala. Dan perjuangan adalah perlaksanaan kata-kata. Sajak Rendra (Depok, 22 April 1984)  

BACA SELANJUTNYA »
Puisi WS Rendra Sajak Gadis Dan Majikan

Puisi WS Rendra Sajak Gadis Dan Majikan

Puisi WS Rendra Sajak Gadis Dan Majikan Janganlah tuan seenaknya memelukku. Ke mana arahnya, sudah cukup aku tahu. Aku bukan ahli ilmu menduga, tetapi jelas sudah kutahu pelukan ini apa artinya….. Siallah pendidikan yang aku terima. Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing, kerapian, dan tatacara, Tetapi lupa diajarkan : bila dipeluk majikan dari belakang, lalu sikapku bagaimana ! Janganlah tuan seenaknya memelukku. Sedangkan pacarku tak berani selangsung itu. Apakah tujuan tuan, sudah cukup aku tahu, Ketika tuan siku teteku, sudah kutahu apa artinya…… Mereka ajarkan aku membenci dosa tetapi lupa mereka ajarkan bagaimana mencari kerja. Mereka ajarkan aku gaya hidup yang peralatannya tidak berasal dari lingkungan. Diajarkan aku membutuhkan peralatan yang dihasilkan majikan, dan dikuasai para majikan. Alat-alat rias, mesin pendingin, vitamin sintetis, tonikum, segala macam soda, dan ijazah sekolah. Pendidikan membuatku terikat pada pasar mereka, pada modal mereka. Dan kini, setelah aku dewasa. Kemana lagi aku ‘kan lari, bila tidak ke dunia majikan ? Jangnlah tuan seenaknya memelukku. Aku bukan cendekiawan tetapi aku cukup tahu semua kerja di mejaku akan ke sana arahnya. Jangan tuan, jangan ! Jangan seenaknya memelukku. Ah, Wah . Uang yang tuan selipkan ke behaku adalah ijazah pendidikanku Ah, Ya. Begitulah. Dengan yakin tuan memelukku. Perut tuan yang buncit menekan perutku. Mulut tuan yang buruk mencium mulutku. Sebagai suatu kewajaran semuanya tuan lakukan. Seluruh anggota masyarakat membantu tuan. Mereka pegang kedua kakiku. Mereka tarik pahaku mengangkang. Sementara tuan naik ke atas tubuhku.  

BACA SELANJUTNYA »
Puisi Terakhir WS Rendra

Puisi Terakhir WS Rendra – Tuhan, Aku Cinta Padamu

Puisi Terakhir WS Rendra – Tuhan, Aku Cinta Padamu Aku lemas Tapi berdaya Aku tidak sambat rasa sakit atau gatal Aku pengin makan tajin Aku tidak pernah sesak nafas Tapi tubuhku tidak memuaskan untuk punya posisi yang ideal dan wajar Aku pengin membersihkan tubuhku dari racun kimiawi Aku ingin kembali pada jalan alam Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah Tuhan, aku cinta padamu Rendra 31 July 2009 Mitra Keluarga Inilah puisi terakhir Rendra, yang dibuat pada 31 Juli di RS Mitra Keluarga Jakarta.  

BACA SELANJUTNYA »
Puisi WS Rendra Kupanggil Namamu

Puisi WS Rendra Kupanggil Namamu

Puisi WS Rendra Kupanggil Namamu Sambil menyeberangi sepi, Kupanggili namamu, wanitaku Apakah kau tak mendengar? Malam yang berkeluh kesah Memeluk jiwaku yang payah Yang resah Karena memberontak terhadap rumah Memberontak terhadap adat yang latah dan akhirnya tergoda cakrawala Sia-sia kucari pancaran matamu Ingin kuingat lagi bau tubuhmu yang kini sudah kulupa Sia-sia Tak ada yang bisa kucamkan Sempurnalah kesepianku Angin pemberontakan menyerang langit dan bumi Dan duabelas ekor serigala Muncul dari masa silamku Merobek-robek hatiku yang celaka Berulangkali kupanggil namamu Dimanakah engkau wanitaku? Apakah engkau sudah menjadi masa silamku? WS Rendra  

BACA SELANJUTNYA »
PUISI WS RENDRA DOA ORANG LAPAR

PUISI WS RENDRA DOA ORANG LAPAR

PUISI WS RENDRA DOA ORANG LAPAR Kelaparan adalah burung gagak yang licik dan hitam jutaan burung-burung gagak bagai awan yang hitam Allah ! burung gagak menakutkan dan kelaparan adalah burung gagak selalu menakutkan kelaparan adalah pemberontakan adalah penggerak gaib dari pisau-pisau pembunuhan yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin Kelaparan adalah batu-batu karang di bawah wajah laut yang tidur adalah mata air penipuan adalah pengkhianatan kehormatan Seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu melihat bagaimana tangannya sendiri meletakkan kehormatannya di tanah karena kelaparan kelaparan adalah iblis kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran Allah ! kelaparan adalah tangan-tangan hitam yang memasukkan segenggam tawas ke dalam perut para miskin Allah ! kami berlutut mata kami adalah mata Mu ini juga mulut Mu ini juga hati Mu dan ini juga perut Mu perut Mu lapar, ya Allah perut Mu menggenggam tawas dan pecahan-pecahan gelas kaca Allah ! betapa indahnya sepiring nasi panas semangkuk sop dan segelas kopi hitam Allah ! kelaparan adalah burung gagak jutaan burung gagak bagai awan yang hitam menghalang pandangku ke sorga Mu WS Rendra DARI KUMPULAN PUISI “SAJAK – SAJAK SEPATU TUA” ( PUSTAKA JAYA – 1995 )

BACA SELANJUTNYA »
PUISI WS RENDRA PESAN PENCOPET

PUISI WS RENDRA PESAN PENCOPET KEPADA PACARNYA

PUISI WS RENDRA PESAN PENCOPET KEPADA PACARNYA Sitti, kini aku makin ngerti keadaanmu Tak ‘kan lagi aku membujukmu untuk nikah padaku dan lari dari lelaki yang miaramu Nasibmu sudah lumayan Dari babu dari selir kepala jawatan Apalagi? Nikah padaku merusak keberuntungan Masa depanku terang repot Sebagai copet nasibku untung-untungan Ini bukan ngesah Tapi aku memang bukan bapak yang baik untuk bayi yang lagi kau kandung Cintamu padaku tak pernah kusangsikan Tapi cinta cuma nomor dua Nomor satu carilah keslametan Hati kita mesti ikhlas berjuang untuk masa depan anakmu Janganlah tangguh-tangguh menipu lelakimu Kuraslah hartanya Supaya hidupmu nanti sentosa Sebagai kepala jawatan lelakimu normal suka disogok dan suka korupsi Bila ia ganti kau tipu itu sudah jamaknya Maling menipu maling itu biasa Lagi pula di masyarakat maling kehormatan cuma gincu Yang utama kelicinan Nomor dua keberanian Nomor tiga keuletan Nomor empat ketegasan, biarpun dalam berdusta Inilah ilmu hidup masyarakat maling Jadi janganlah ragu-ragu Rakyat kecil tak bisa ngalah melulu Usahakan selalu menanjak kedudukanmu Usahakan kenal satu menteri dan usahakan jadi selirnya Sambil jadi selir menteri tetaplah jadi selir lelaki yang lama Kalau ia menolak kau rangkap sebagaimana ia telah merangkapmu dengan isterinya itu berarti ia tak tahu diri Lalu depak saja dia Jangan kecil hati lantaran kurang pendidikan asal kau bernafsu dan susumu tetap baik bentuknya Ini selalu menarik seorang menteri Ngomongmu ngawur tak jadi apa asal bersemangat, tegas, dan penuh keyakinan Kerna begitulah cermin seorang menteri Akhirnya aku berharap untuk anakmu nanti Siang malam jagalah ia Kemungkinan besar dia lelaki Ajarlah berkelahi dan jangan boleh ragu-ragu memukul dari belakang Jangan boleh menilai orang dari wataknya Sebab hanya ada dua nilai: kawan atau lawan Kawan bisa baik sementara Sedang lawan selamanya jahat nilainya Ia harus diganyang sampai sirna Inilah hakikat ilmu selamat Ajarlah anakmu mencapai kedudukan tinggi Jangan boleh ia nanti jadi propesor atau guru itu celaka, uangnya tak ada Kalau bisa ia nanti jadi polisi atau tentara supaya tak usah beli beras kerna dapat dari negara Dan dengan pakaian seragam dinas atau tak dinas haknya selalu utama Bila ia nanti fasih merayu seperti kamu dan wataknya licik seperti saya–nah! Ini kombinasi sempurna Artinya ia berbakat masuk politik Siapa tahu ia bakal jadi anggota parlemen Atau bahkan jadi menteri Paling tidak hidupnya bakal sukses di Jakarta Rendra Dari buku Sajak-Sajak Sepatu Tua, Pustaka Jaya, Jakarta, 1972.

BACA SELANJUTNYA »
Puisi WS Rendra Bersatulah Pelacur

Puisi WS Rendra Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta

Puisi WS Rendra Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta Pelacur-pelacur Kota Jakarta Dari kelas tinggi dan kelas rendah Telah diganyang Telah haru-biru Mereka kecut Keder Terhina dan tersipu-sipu Sesalkan mana yang mesti kausesalkan Tapi jangan kau lewat putus asa Dan kaurelakan dirimu dibikin korban Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta Sekarang bangkitlah Sanggul kembali rambutmu Karena setelah menyesal Datanglah kini giliranmu Bukan untuk membela diri melulu Tapi untuk lancarkan serangan Karena Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan Tapi jangan kaurela dibikin korban Sarinah Katakan kepada mereka Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu Tentang perjuangan nusa bangsa Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal Ia sebut kau inspirasi revolusi Sambil ia buka kutangmu Dan kau Dasima Khabarkan pada rakyat Bagaimana para pemimpin revolusi Secara bergiliran memelukmu Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi Sambil celananya basah Dan tubuhnya lemas Terkapai disampingmu Ototnya keburu tak berdaya Politisi dan pegawai tinggi Adalah caluk yang rapi Kongres-kongres dan konferensi Tak pernah berjalan tanpa kalian Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’ Lantaran kelaparan yang menakutkan Kemiskinan yang mengekang Dan telah lama sia-sia cari kerja Ijazah sekolah tanpa guna Para kepala jawatan Akan membuka kesempatan Kalau kau membuka kesempatan Kalau kau membuka paha Sedang diluar pemerintahan Perusahaan-perusahaan macet Lapangan kerja tak ada Revolusi para pemimpin Adalah revolusi dewa-dewa Mereka berjuang untuk syurga Dan tidak untuk bumi Revolusi dewa-dewa Tak pernah menghasilkan Lebih banyak lapangan kerja Bagi rakyatnya Kalian adalah sebahagian kaum penganggur yang mereka ciptakan Namun Sesalkan mana yang kau kausesalkan Tapi jangan kau lewat putus asa Dan kau rela dibikin korban Pelacur-pelacur kota Jakarta Berhentilah tersipu-sipu Ketika kubaca di koran Bagaimana badut-badut mengganyang kalian Menuduh kalian sumber bencana negara Aku jadi murka Kalian adalah temanku Ini tak bisa dibiarkan Astaga Mulut-mulut badut Mulut-mulut yang latah bahkan seks mereka politikkan Saudari-saudariku Membubarkan kalian Tidak semudah membubarkan partai politik Mereka harus beri kalian kerja Mereka harus pulihkan darjat kalian Mereka harus ikut memikul kesalahan Saudari-saudariku. Bersatulah Ambillah galah Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya Araklah keliling kota Sebagai panji yang telah mereka nodai Kinilah giliranmu menuntut Katakanlah kepada mereka Menganjurkan mengganyang pelacuran Tanpa menganjurkan Mengahwini para bekas pelacur Adalah omong kosong Pelacur-pelacur kota Jakarta Saudari-saudariku Jangan melulur keder pada lelaki Dengan mudah Kalian bisa telanjangi kaum palsu Naikkan tarifmu dua kali Dan mereka akan klabakan Mogoklah satu bulan Dan mereka akan puyeng Lalu mereka akan berzina Dengan isteri saudaranya.

BACA SELANJUTNYA »
PUISI DOA DI JAKARTA

PUISI DOA DI JAKARTA – WS RENDRA

PUISI DOA DI JAKARTA – WS RENDRA Tuhan yang Maha Esa, alangkah tegangnya melihat hidup yang tergadai, fikiran yang dipabrikkan, dan masyarakat yang diternakkan. Malam rebah dalam udara yang kotor. Di manakah harapan akan dikaitkan bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan? Dendam diasah di kolong yang basah siap untuk terseret dalam gelombang edan. Perkelahian dalam hidup sehari-hari telah menjadi kewajaran. Pepatah dan petitih tak akan menyelesaikan masalah bagi hidup yang bosan, terpenjara, tanpa jendela. Tuhan yang Maha Faham, alangkah tak masuk akal jarak selangkah yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh, yang memisahkan sebuah halaman bertaman tanaman hias dengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C. Hati manusia telah menjadi acuh, panser yang angkuh, traktor yang dendam. Tuhan yang Maha Rahman, ketika air mata menjadi gombal, dan kata-kata menjadi lumpur becek, aku menoleh ke utara dan ke selatan – di manakah Kamu? Di manakah tabungan keramik untuk wang logam? Di manakah catatan belanja harian? Di manakah peradaban? Ya, Tuhan yang Maha Hakim, harapan kosong, optimisme hampa. Hanya akal sihat dan daya hidup menjadi peganganku yang nyata. Ibumu mempunyai hak yang sekiranya kamu mengetahui tentu itu besar sekali Kebaikanmu yang banyak ini Sungguh di sisi-Nya masih sedikit Berapa banyak malam yang ia gunakan mengaduh karena menanggung bebanmu Dalam pelayanannya ia menanggung rintih dan nafas panjang Ketika melahirkan andai kamu mengetahui keletihan yang ditanggungnya Dari balik sumbatan kerongkongannya hatinya terbang Berapa banyak ia membasuh sakitmu dengan tangannya Pangkuannya bagimu adalah sebuah ranjang Sesuatu yang kamu keluhkan selalu ditebusnya dengan dirinya Dari susunya keluarlah minuman yang sangat enak buatmu Berapa kali ia lapar dan ia memberikan makanannya kepadamu Dengan belas kasih dan kasih sayang saat kamu masih kecil Aneh orang yang berakal tapi masih mengikuti hawa nafsunya Aneh orang yang buta mata hatinya sementara matanya melihat Wujudkan cintaimu dengan memberikan doamu yang setulusnya pada ibumu Karena kamu sangat membutuhkan doanya padamu

BACA SELANJUTNYA »

Laman sastra Indonesia hadir sebagai portal yang memungkinkan kita untuk menelusuri, memahami, dan menikmati berbagai karya sastra

Menu Laman Sastra