TOPENG BAYI UNTUK ZELA Karya: Joko Pinurbo

TOPENG BAYI UNTUK ZELA Karya: Joko Pinurbo Melihat kau tersenyum dalam tidurmu, aku ingin kasih topeng bayi yang cantik untukmu. Kau pernah bertanya, “Cantikkah saya waktu bayi?” Sayang, aku tak sempat membuat foto bayimu. Padahal kau sangat lucu dan tak mungkin aku melukisnya. Di sebuah desa kerajinan aku bertemu seorang pembuat topeng yang sangat aneh tingkahnya. Ia suka menjerit-jerit saat mengerjakan topeng-topengnya. “Anda masih waras, kan?” aku bertanya. “Masih. Jangan khawatir,” jawabnya. “Saya hanya tak tahan menahan sakit dan perih setiap memahat dan mengukir wajah saya sendiri.” Aku sangat kesepian setiap melihat kau asyik bercanda dengan topeng bayimu. Kok wajahku cepat tua dan makin mengerikan saja. Tapi kau berkata, “Jangan sedih, Pak Penyair. Bukankah wajah kita pun cuma topeng yang tak pernah sempurna mengungkapkan kehendak penciptanya?” (1999) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

KISAH SEMALAM Karya: Joko Pinurbo

KISAH SEMALAM Karya: Joko Pinurbo Yang ditunggu belum juga datang dan masih digenggamnya surat terakhir yang sudah dibaca berulang: Aku pasti pulang pada suatu akhir petang. Tentu dengan bunga plastik yang kauberikan saat kau mengusirku sambil menggebrak pintu: “Minggat saja kau, bajingan. Aku akan selamanya di sini, di rumah yang terpencil di sudut kenangan.” Belum sudah ia bereskan resahnya dan malam buru-buru mengingatkan, “Kau sudah telanjang, kok belum juga mandi dan berdandan.” Maka ia pun lekas berdiri dan dengan berani melangkah ke kamar mandi. “Aku mau bersih-bersih dulu. Aku mau berendam semalaman, menyingkirkan segala yang berantakan dan berdebu di molek tubuhmu.” Dan suntuklah ia bekerja, membangun kembali keindahan yang dikira bakal cepat sirna: kota tua yang porak-poranda pada wajah yang mulai kumal dan kusam; langit kusut pada mata yang memancarkan cahaya redup kunang-kunang; hutan pinus yang meranggas pada rambut yang mulai pudar hitamnya; padang rumput kering pada ketiak yang kacau baunya; bukit-bukit keriput pada payudara yang sedang susut kenyalnya; pegunungan tandus pada pinggul dan pantat yang mulai lunglai goyangnya; dan lembah duka yang menganga antara perut dan paha. Benar-benar pemberani. Tak gentar ia pada sepi dan gerombolannya yang mengancam lewat lolong anjing di bawah hujan. Ada suara memanggil pelan. Ada cermin besar hendak merebut sisa-sisa kecantikan. Ada juga yang mengintip diam-diam sambil terkagum-kagum: “Wow, gadisku yang rupawan tambah montok dan menawan. Aku ingin mengajaknya lelap dalam hangat pertemuan.” “Ah, dasar bajingan. Kau cuma ingin mencuri kecantikanku. Kau memang selalu datang dan pergi tanpa setahuku. Masuklah kalau berani. Pintunya sengaja tak aku kunci.” Tak ada sahutan. Cuma ada yang cekikikan dan terbirit-birit pergi seperti takut ketahuan. “Baiklah, kalau begitu, permisi. Permisi cermin. Permisi kamar mandi. Permisi gunting, sisir, bedak, lipstik, minyak wangi dan kawan-kawan. Aku sekarang mau tidur. Aku mau terbang tinggi, menggelepar, dalam jaring melankoli.” Sesudah itu ia sering mangkal di kuburan, menunggu kekasihnya datang. Tentu dengan setangkai kembang plastik yang dulu ia berikan. 1996 Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
NASKAH DRAMA Lidah Tak Bertulang

TOILET Karya: Joko Pinurbo

TOILET Karya: Joko Pinurbo (1) Ia mencintai toilet lebih dari bagian-bagian lain rumahnya. Ruang tamu boleh kelihatan suram, ruang tidur boleh sedikit berantakan, ruang keluarga boleh agak acak-acakan, tapi toilet harus dijaga betul keindahan dan kenyamanannya. Toilet adalah cermin jiwa, ruang suci, tempat merayakan yang serba sakral dan serba misteri. Bertahun-tahun kita mengembara mencari wajah asli kita, padahal kita dapat dengan mudah menemukannya, yakni saat bertahta di atas lubang toilet. Karena itulah, barangkali, kita mudah merasa waswas dan terancam bila melihat atau mendengar kelebat orang dekat toilet karena kita memang tidak ingin ada orang lain mengintip wajah kita yang sebenarnya. Demikianlah, ketika saya bertandang ke rumahnya, tanpa saya tanya ia langsung berkata, “Kalau mau ke toilet, terus saja lurus ke belakang, putar sedikit ke kiri, kemudian belok kanan.” Mungkin ia bermaksud memamerkan toiletnya yang mewah. Begitu saya keluar dari toilet, ia bertanya, “Dapat berapa butir?” Butir apa? (2) Nah, ia terbangun dari tidurnya yang murung dan gelisah. Dengan bersungut-sungut ia berjalan tergopoh-gopoh ke toilet. Keluar dari toilet, wajahnya tampak sumringah, langkahnya santai, matanya cerah: “Merdeka!” Sambil senyum-senyum ia kembali tidur. Tidurnya damai dan pasrah. Terus terang saya suka membayangkan yang bukan-bukan kalau ia berlama-lama di toilet. Apalagi tengah malam. Apalagi mendengar ia terengah, mengerang, mengaduh, sesekali menjerit lalu berseru, “Edan!” Seperti sedang melepaskan rasa sakit yang tak tertahankan. O ternyata ia sedang bertelur. Dan ia rajin ke toilet malam-malam untuk mengerami telur-telurnya. Bertahun-tahun ia bolak-balik antara kamar tidur dan toilet untuk melihat apakah telur-telur mimpinya dan telur-telur mautnya sudah menetas. 1999 Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

TAHANAN RANJANG Karya: Joko Pinurbo

TAHANAN RANJANG Karya: Joko Pinurbo Akhirnya ia lari meninggalkan ranjang. Lari sebelum tangan-tangan malam merampas tubuhnya dan menjebloskannya ke nganga waktu yang lebih dalam. “Selamat tinggal, negara. Aku tak ingin lebih lama lagi terpenjara. Mungkin di luar ranjang waktu bisa lebih luas dan lapang.” Ranjang memang sering rusuh dan rawan. Penuh horor dan teror. Di sana ada psikopat gentayangan sambil mengacung-acungkan pistol dan teriak, “Tiarap. Kau akan kutembak.” Kemudian ada yang balik mengancam sambil membentak, “Angkat tangan. Pistolmu tak bisa lagi meledak.” Ada yang lari meninggalkan ranjang. Ada yang ingin berumah kembali di ranjang. Pada kelambu merah ia baca tulisan: Ini penjara masih menerima tahanan. Dijamin puas dan jinak. Selamat malam. 1999 Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
NASKAH DRAMA Cahaya Rembulan

KISAH SENJA Karya: Joko Pinurbo

KISAH SENJA Karya: Joko Pinurbo Telah sekian lama mengembara, lelaki itu akhirnya pulang ke rumah. Ia membuka pintu, melemparkan ransel, jaket, sepatu. “Aku mau kopi,” katanya sambil dilepasnya pakaian kotor yang kecut baunya. Istrinya masih asyik di depan cermin, menghabiskan bedak dan lipstik, menghabiskan sepi dan rindu. “Aku mau piknik sebentar ke kuburan. Tolong jaga rumah ini baik-baik. Kemarin ada pencuri masuk mengambil buku harian dan surat-suratmu.” Tahu senja sudah menunggu, lelaki itu bergegas ke kamar mandi, gebyar-gebyur, bersiul-siul sendirian. Sedang istrinya berlenggak-lenggok di depan cermin, mematut-matut diri, senyum-senyum sendirian. “Kok belum cantik juga ya?” Lelaki itu pun berdandan, mencukur jenggot dan kumis, mencukur nyeri dan ngilu, mengenakan busana baru, lalu merokok, minum kopi, ongkang-ongkang, baca koran. “Aku minggat dulu mencari hidup. Tolong siapkan ransel, jaket, dan sepatu.” Si istri belum juga rampung memugar kecantikan di sekitar mata, bibir dan pipi. Ia masih mojok di depan cermin, di depan halusinasi. (1994) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
BALADA PENYEBERANG SUNGAI DAN BONGGOL KAYU Karya: Sapardi Djoko Damono

DESEMBER Karya: Joko Pinurbo

DESEMBER Karya: Joko Pinurbo Ingin kumimpikan banyak hal dan pergi ke malam yang jauh sambil membayangkan semuanya bakal kekal. Di musim yang rusuh ini, di musim yang resah ini hangatkan hari yang sebentar lagi tanggal. Kau menungguku di sebuah pintu dan aku datang melalui pintu yang tak kaulihat. Aku duduk di sudut yang gelap. Di pesta itu aku cuma pelancong tersesat. Tak usah menyesal, aku pulang lebih awal dari jadwal. Aku ingin pergi menghabiskan mimpi sebelum kabut datang memenuhi ruangan dan bara api di atas ranjang mendadak padam. Di musim yang rusuh ini, di musim yang resah ini hangatkan hari yang sebentar lagi tanggal, hangatkan hati yang tetap tinggal. (1991) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
Sajak Nyanyian Suto

BUNGA KUBURAN Karya: Joko Pinurbo

BUNGA KUBURAN Karya: Joko Pinurbo Gadis kecil itu suka sekali memetik mawar putih dari kuburan, kemudian menanamnya di ranjang. “Bunga ini, Bu, akan kuncup dalam tidurku.” Ibunya sangat sedih setiap melihat bunga itu mekar di ranjang dan harumnya memenuhi ruangan. “Trauma, anakku, menjulurkan wajahnya lewat bunga indah itu.” Ia lalu mencabutnya dan membuangnya ke halaman. Gadis kecil itu menangis tersedu-sedu; ia sangat mencintai bunga itu sebab, “Bunga ini secantik Ibu.” Ia tidak tahu bahwa ibunya sangat membenci kuburan itu. Kuburan itu terletak agak jauh di luar desa, disediakan khusus untuk mengubur mayat para penjahat. Dulu pernah datang seorang petualang, menyatakan cintanya, kemudian memperkosanya. Suatu hari petualang itu datang lagi, diringkus dan dikalahkannya. Gadis kecil itu suka sekali memetik bunga mawar putih dari kuburan dan ibunya tidak sampai hati mengatakan, “Buah hatiku, sesungguhnya kau anak si pemerkosa itu.” (2002) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
Puisi WS Rendra Kupanggil Namamu

SELAMAT PAGI INDONESIA Karya: Sapardi Djoko Damono

SELAMAT PAGI INDONESIA Karya: Sapardi Djoko Damono selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk dan menyanyi kecil buatmu. aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu, dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam kerja yang sederhana; bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal. selalu kujumpai kau di bawah anak-anak sekolah, di mata para perempuan yang sabar, di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan; kami telah bersahabat dengan kenyataan untuk diam-diam mencintaimu. pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu agar tak sia-sia kau melahirkanku. seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya. aku pun pergi bekerja, menaklukkan kejemuan, merubahkan kesangsian, dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman yang megah, biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat, para perempuan menyalakan api, dan di telapak tangan para lelaki yang tabah telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura. selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil memberi salam kepada si anak kecil; terasa benar: aku tak lain milikmu Sapardi Djoko Damono

BACA SELANJUTNYA »
CATATAN MASA KECIL, 1 Karya: Sapardi Djoko Damono

CATATAN MASA KECIL, 1 Karya: Sapardi Djoko Damono

CATATAN MASA KECIL, 1 Karya: Sapardi Djoko Damono           Ia menjenguk ke dalam sumur mati itu dan tampak garis-garis patah dan berkas-berkas warna perak dan kristal-kristal hitam yang pernah disaksikannya ketika ia sakit dan mengigau dan memanggil-manggil ibunya. Mereka bilang ada ular menjaga di dasarnya. Ia melemparkan batu ke dalam sumur mati itu dan mendengar suara yang pernah dikenalnya lama sebelum ia mendengar tangisnya sendiri yang pertama kali. Mereka bilang sumur mati itu tak pernah keluar airnya.            Ia mencoba menerka kenapa ibunya tidak pernah mempercayai mereka. 1971 Sapardi Djoko Damono Buku: Hujan Bulan Juni

BACA SELANJUTNYA »
BALADA PENYEBERANG SUNGAI DAN BONGGOL KAYU Karya: Sapardi Djoko Damono

BALADA PENYEBERANG SUNGAI DAN BONGGOL KAYU Karya: Sapardi Djoko Damono

BALADA PENYEBERANG SUNGAI DAN BONGGOL KAYU Karya: Sapardi Djoko Damono naik dari tebing sungai sehabis menyeberang dari tepi sebelah timur ia duduk di bonggol kayu ia duduk memperhatikan barisan semut yang sama sekali tidak memperhatikannya ia duduk di bonggol kayu yang tidak pernah tahu asal-usulnya ia duduk memperhatikan seekor ular kecil berwarna hijau yang sama sekali tidak memperhatikan barisan semut yang tadi menjadi pusat perhatiannya ia duduk memperhatikan kura-kura yang tadi dilihatnya memanjat tebing sungai begitu pelahan sehingga menyebabkannya tidak mau lagi repot berpikir tentang waktu bangkit dari duduk di bonggol kayu ia berpikir sebaiknya menyeberang sungai lagi agar ingat untuk apa tadi menyeberang sesampai di tepi sebelah timur ia memusatkan pandangan ke bonggol kayu yang di seberang barat dan bertanya kenapa tadi duduk di atasnya lalu ia berpikir ada baiknya kalau menyeberang lagi agar yakin bahwa pernah duduk di bonggol kayu yang di seberang itu tepat di tengah sungai ia memutuskan untuk tidak perlu mengusut mengapa tadi duduk di bonggol kayu yang tidak suka ditanya perihal asal-usulnya tepat di tengah sungai ia berhenti dan berpikir sebaiknya dibiarkan saja semua ingatan tentang bonggol kayu yang pernah didudukinya ia memilih menjadi buih menggelembung putih mengikuti keriput air yang menghilir menuju tubir Sapardi Djoko Damono Buku: Babad Batu

BACA SELANJUTNYA »

Laman sastra Indonesia hadir sebagai portal yang memungkinkan kita untuk menelusuri, memahami, dan menikmati berbagai karya sastra

Menu Laman Sastra