MALAM ITU KAMI DI SANA Karya: Sapardi Djoko Damono

MALAM ITU KAMI DI SANA Karya: Sapardi Djoko Damono

MALAM ITU KAMI DI SANA Karya: Sapardi Djoko Damono “Kenapa kaubawa aku ke mari, Saudara?”; sebuah stasiun di dasar malam. Bayang-bayang putih di sudut peron menyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak         letihnya meloncat, merapat ke Sepi. Barangkali saja kami sedang menanti kereta yang biasa tiba setiap kali tiada seorang pun siap memberi tanda-tanda; barangkali saja kami sekedar ingin berada di sini ketika tak ada yang bergegas, yang cemas, yang         menanti-nanti; hanya nafas kami, menyusur batang-batang rel, mengeras         tiba-tiba; sinyal-sinyal kejang, lampu-lampu kuning yang menyusut di         udara sementara bayang-bayang putih di seluruh ruangan, “Tetapi katakan dahulu, Saudara, kenapa kaubawa aku ke mari?” 1970 Sapardi Djoko Damono Buku: Hujan Bulan Juni

BACA SELANJUTNYA »
AIR SELOKAN Karya: Sapardi Djoko Damono

AIR SELOKAN Karya: Sapardi Djoko Damono

AIR SELOKAN Karya: Sapardi Djoko Damono “Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit,” katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung — ia hampir muntah karena bau sengit itu. Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayar di kamar mati. Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu: “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu — alangkah indahnya!” Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali. Sapardi Djoko Damono

BACA SELANJUTNYA »
SEPASANG LAMPU BECA Karya: Sapardi Djoko Damono

SEPASANG LAMPU BECA Karya: Sapardi Djoko Damono

SEPASANG LAMPU BECA Karya: Sapardi Djoko Damono untuk Isma Sawitri         ada sepasang beca bernyanyi lirih di muara gang tengah malam sementara si abang sudah tertidur sebelum gerimis reda         mereka harus tetap bernyanyi sebab kalau sunyi tiba-tiba sempurna bunga yang tadi siang tanggal dari keranda lewat itu akan mendadak semerbak dan menyusup ke dalam pori-pori si abang beca lalu mengalir di sela-sela darahnya sehingga ia merasa sedang bertapa dalam sebuah gua digoda oleh seribu bidadari yang menjemputnya ke suralaya dan hai selamat tinggal dunia Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
RUANG INI Karya: Sapardi Djoko Damono

RUANG INI Karya: Sapardi Djoko Damono

RUANG INI Karya: Sapardi Djoko Damono kau seolah mengerti: tak ada lubang angin di ruang terkunci ini seberkas bunga plastik di atas meja, asbak yang penuh, dan sebuah buku yang terbuka pada halaman pertama kaucari catatan kaki itu, sia-sia Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
AKU TENGAH MENANTIMU Karya: Sapardi Djoko Damono

AKU TENGAH MENANTIMU Karya: Sapardi Djoko Damono

AKU TENGAH MENANTIMU Karya: Sapardi Djoko Damono aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas di pucuk kemarau yang mulai gundul itu beberapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu yang telah hati-hati kucatat, tapi diam-diam terlepas awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku kudengar berulang suara gelombang udara memecah nafsu dan gairah telanjang di sini, bintang-bintang gelisah telah rontok kemarau-kemarau yang tipis; ada yang mendadak         sepi di tengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun         menanti barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana dan tak ada, kau pun, yang merasa ditunggu begitu lama Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
CATATAN MASA KECIL, 4 Karya: Sapardi Djoko Damono

CATATAN MASA KECIL, 4 Karya: Sapardi Djoko Damono

CATATAN MASA KECIL, 4 Karya: Sapardi Djoko Damono          Ia tak pernah sempat bertanya kepada dua kali dua hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar dari tiga tambah tiga. Sejak semula ia sayang pada angka nol. Dan setiap kali ia menghitung dua tambah tiga kali empat kurang dua ia selalu teringat waktu terjaga malam-malam ketika ibunya sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah dan di halaman terdengar langkah-langkah bakiak almarhum neneknya dan ia ingin kencing tetapi takut ke kamar kecil yang dekat sumur itu dan lalu kencing saja di kasur.          Sungguh, sejak semula ia hanya mempercayai angka nol. Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
AUBADE Karya: Sapardi Djoko Damono

AUBADE Karya: Sapardi Djoko Damono

AUBADE Karya: Sapardi Djoko Damono percik-percik cahaya. Lalu kembali hijau namamu, daun yang menjelma kupu-kupu, ketika anak-anak bernyanyi– melintas di depan jendela itu lalu kembali cahaya sebutanmu, hatiku pagi ini Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
IBU Karya: Sapardi Djoko Damono

IBU Karya: Sapardi Djoko Damono

IBU Karya: Sapardi Djoko Damono        Ibu masih tinggal di kampung itu, ia sudah tua. Ia adalah perempuan yang menjadi korban mimpi-mimpi ayahku. Ayah sudah meninggal, ia dikuburkan di sebuah makam tua di kampung itu juga, beberapa langkah saja dari rumah kami. Dulu Ibu sering pergi sendirian ke makam, menyapu sampah dan, kadang-kadang, menebarkan beberapa kuntum bunga. “Ayahmu bukan pemimpi,” katanya yakin meskipun tidak berapi-api, “ia tahu benar apa yang akan terjadi.”        Kini di makam itu sudah berdiri sebuah sekolah, Ayah digusur ke sebuah makam agak jauh di sebelah utara kota. Kalau aku kebetulan pulang, Ibu suka mengingatkanku untuk menengok makam Ayah, mengirim doa. Ibu sudah tua, tentu lebih mudah mengirim doa dari rumah saja. “Ayahmu dulu sangat sayang padamu, meskipun kau mungkin tak pernah mempercayai segala yang dikatakannya.”        Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, sambil menengok ke luar jendela pesawat udara, sering kubayangkan Ibu berada di antara mega-mega. Aku berpikir, Ibu sebenarnya lebih pantas tinggal di sana, di antara bidadari-bidadari kecil yang dengan ringan terbang dari mega ke mega–dan tidak mondar- mandir dari dapur ke tempat tidur, memberi makan dan menyusui anak-anaknya. “Sungguh, dulu ayahmu sangat sayang padamu,” kata Ibu selalu, “meskipun sering dikatakannya bahwa ia tak pernah bisa memahami igauanmu.” Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »

Laman sastra Indonesia hadir sebagai portal yang memungkinkan kita untuk menelusuri, memahami, dan menikmati berbagai karya sastra

Menu Laman Sastra