TENTANG MAHASISWA YANG MATI, 1996 Karya: Sapardi Djoko Damono

TENTANG MAHASISWA YANG MATI, 1996 Karya: Sapardi Djoko Damono

TENTANG MAHASISWA YANG MATI, 1996 Karya: Sapardi Djoko Damono Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut rame-rame hari itu. Aku tak mengenalnya, hanya dari koran, tidak begitu jelas memang, kenapanya atau bagaimananya (bukankah semuanya demikian juga?) tetapi rasanya cukup alasan untuk mencintainya. Ia bukan mahasiswaku. Dalam kelas mungkin saja ia suka ngantuk, atau selalu tampak sibuk mencatat, atau diam saja kalau ditanya, atau sudah terlanjur bodoh sebab ikut saja setiap ucapan gurunya. Atau malah terlalu suka membaca sehingga semua guru jadi asing baginya. Dan tiba-tiba saja, begitu saja, hari itu ia mati; begitu berita yang ada di koran pagi ini– entah kenapa aku mencintainya karena itu. Aneh, koran ternyata bisa juga membuat hubungan antara yang hidup dan yang mati, yang tak saling mengenal. Siapa namanya, mungkin disebut di koran, tapi aku tak ingat lagi, dan mungkin juga tak perlu peduli. Ia telah mati hari itu–dan ada saja yang jadi ribut. Di negeri orang mati, mungkin ia sempat merasa was-was akan nasib kita yang telah meributkan mahasiswa mati. Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
KURCACI Karya: Joko Pinurbo

KURCACI Karya: Joko Pinurbo

KURCACI Karya: Joko Pinurbo Kata-kata adalah kurcaci yang muncul tengah malam dan ia bukan pertapa suci yang kebal terhadap godaan. Kurcaci merubung tubuhnya yang berlumuran darah, sementara pena yang dihunusnya belum mau patah. (1998) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
PERTEMUAN Karya: Joko Pinurbo

PERTEMUAN Karya: Joko Pinurbo

PERTEMUAN Karya: Joko Pinurbo Ketika pulang, yang kutemu di dalam rumah hanya ranjang bobrok, onggokan popok, bau ompol, jerit tangis berkepanjangan, dan tumpukan mainan yang tinggal rongsokan. Di sudut kamar kulihat ibu masih suntuk berjaga, menjahit sarung dan celana yang makin meruyak koyaknya oleh gesekan-gesekan cinta dan usia. “Di mana Ayah?” aku menyapa dalam hening suara. “Biasanya Ayah khusyuk membaca di depan jendela.” “Ayah pergi mencari kamu,” sahutnya. “Sudah tiga puluh tahun ia meninggalkan Ibu.” “Baiklah, akan saya cari Ayah sampai ketemu. Selamat menjahit ya, Bu.” Di depan pintu aku berjumpa lelaki tua dengan baju usang, celana congklang. “Kok tergesa,” ia menyapa. “Kita mabuk-mabuk dululah.” “Kok baru pulang,” aku berkata. “Dari mana saja? Main judi ya?” “Saya habis berjuang mencari anak saya, 30 tahun lamanya. Sampeyan hendak ngeluyur ke mana?” “Saya hendak berjuang mencari ayah saya. Sudah 30 tahun saya tak mendengar dengkurnya.” Ia menatapku, aku menatapnya. “Selamat minggat,” ujarnya sambil mencubit pipiku. “Selamat ngorok,” ucapku sambil kucubit janggutnya. Ia siap melangkah ke dalam rumah, aku siap berangkat meninggalkan rumah. Dan dari dalam rumah Ibu berseru, “Duel sajalah!” (1998) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
DAERAH TERLARANG Karya: Joko Pinurbo

DAERAH TERLARANG Karya: Joko Pinurbo

DAERAH TERLARANG Karya: Joko Pinurbo Tiba di ranjang, setelah lama menggelandang ia memasuki daerah terlarang. Ranjang telah dikelilingi pagar kawat berduri dan ada anjing galak siap menghalau pencuri. “Kawasan Bebas Seks,” bunyi sebuah papan peringatan. Tak terdengar lagi cinta. Tak terdengar lagi ajal yang meronta pada tubuh yang digelinjang nafsu dalam nafas yang mendesah ah, mengeluh uh. Memang ada yang masih bermukim di ranjang: merawat ketiak, mengurus lemak, dan dengan membelalak ia membentak, “Pergi! Tak ada seks di sini.” “Kau kalah,” katanya. “Dulu kautinggalkan ranjang, sekarang hendak kaurampas sisa cinta yang kuawetkan.” “Tunggu pembalasanku,” timpalnya, “suatu saat aku akan datang lagi.” “Kutunggu kau di sini,” ia menantang, “akan kukubur jasadmu di bawah ranjang.” Ia pun pergi meninggalkan daerah terlarang dengan langkah seorang pecundang. “Tunggu!” teriak seseorang dari dalam ranjang. Tapi ia hanya menoleh dan mengepalkan tangan. (1998) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
KORBAN Karya: Joko Pinurbo

KORBAN Karya: Joko Pinurbo

KORBAN Karya: Joko Pinurbo Darah berceceran di atas ranjang. Jejak-jekak kaki pemburu membawa kami tersesat di tengah hutan. Siapakah korban yang telah terbantai di malam yang begini tenang dan damai? Terdengar jerit lengking perempuan yang terluka dan gagak-gagak datang menjemput ajalnya. Tapi perempuan anggun itu tiba-tiba muncul dari balik kegelapan dan dengan angkuh dilemparkannya bangkai pemburu yang malang. “Beginilah jika ada yang lancang mengusik jagat mimpiku yang tenteram. Hanya aku penguasa di wilayah ranjang.” (1996) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
KERANDA Karya: Joko Pinurbo

KERANDA Karya: Joko Pinurbo

KERANDA Karya: Joko Pinurbo Ranjang meminta kembali tubuh yang pernah dilahirkan dan diasuhnya dengan sepenuh cinta. “Semoga anakku yang pemberani, yang jauh merantau ke negeri-negeri igauan, menemukan jalan untuk pulang; pun jika aku sudah lapuk dan karatan.” Tapi tubuh sudah begitu jauh mengembara. Kalaupun sesekali datang, ia datang hanya untuk menabung luka. Dan ketika akhirnya pulang, ia sudah mayat tinggal rangka. Bagai si buta yang renta dan terbata-bata ia mengetuk-ngetuk pintu: “Ibu!” Ranjang yang demikian tegar lagi penyabar memeluknya erat: “Aku rela jadi keranda untukmu.” (1996) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
BERTELUR Karya Joko Pinurbo

BERTELUR Karya Joko Pinurbo

BERTELUR Karya: Joko Pinurbo Dengan perjuangan berat, alhamdulillah akhirnya aku bisa bertelur. Telurku lahir dengan selamat, warnanya hitam pekat. Aku ini seorang peternak: saban hari mengembangbiakkan kata dan belum kudapatkan kata yang bisa mengucapkan kita. Kata yang kucari, konon, ada di dalam telurku itu. Kuperam telurku di ranjang kata-kata yang sudah lama tak lagi melahirkan kata. Kuerami ia saban malam sampai tubuhku demam dan mulutku penuh igauan. Kalau aku lagi asyik mengeram, diam-diam telurku suka meloncat, memantul-mantul di lantai, kemudian menggelinding pelan ke toilet, dan ketika hampir saja nyemplung ke lubang kloset cepat-cepat ia kutangkap dan kubawa pulang ke ranjang. Mana telurku? Tiba-tiba banyak orang merasa kehilangan telur dan mengira aku telah mencurinya dari ranjang mereka. Ah telur kata, telur derita, akhirnya kau menetas juga. Kau menggelembung., memecah, memuncratkan darah. Itu bukan telurku! (2001) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
TANPA CELANA AKU DATANG MENJEMPUTMU Karya: Joko Pinurbo

TANPA CELANA AKU DATANG MENJEMPUTMU Karya: Joko Pinurbo

TANPA CELANA AKU DATANG MENJEMPUTMU Karya: Joko Pinurbo :Wibi Empat puluh tahun yang lampau kutinggalkan kau di kamar mandi, dan aku pun pergi merantau di saat kau masih hijau. Kau menangis: “Pergilah kau, kembalilah kau!” Kini, tanpa celana, aku datang menjemputmu di kamar mandi yang bertahun-tahun mengasuhmu. Seperti pernah kau katakan dalam suratmu, “Jemputlah aku malam Minggu, bawakan aku celana baru.” Di kamar mandi yang remang-remang itu kau masih suntuk membaca buku. Kaulepas kacamatamu dan kau terpana melihatku tanpa celana. Sebab celanaku tinggal satu dan seluruhnya kurelakan untukmu. “Hore, aku punya celana baru!” kau berseru. Kupeluk tubuhmu yang penuh goresan waktu. (2002) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
NAIK BUS DI JAKARTA Karya: Joko Pinurbo

NAIK BUS DI JAKARTA Karya: Joko Pinurbo

NAIK BUS DI JAKARTA Karya: Joko Pinurbo – untuk Clink Sopirnya sepuluh, kernetnya sepuluh, kondekturnya sepuluh, pengawalnya sepuluh, perampoknya sepuluh. Penumpangnya satu, kurus, dari tadi tidur melulu; kusut matanya, kerut keningnya seperti gambar peta yang ruwet sekali. Sampai di terminal kondektur minta ongkos: “Sialah, belum bayar sudah mati!” (1999) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »
KEPADA CIUM Karya: Joko Pinurbo

KEPADA CIUM Karya: Joko Pinurbo

KEPADA CIUM Karya: Joko Pinurbo Seperti anak rusa menemukan sarang air di celah batu karang tersembunyi, seperti gelandangan kecil menenggak sebotol mimpi di bawah rindang matahari, malam ini aku mau minum di bibirmu. Seperti mulut kata mendapatkan susu sepi yang masih hangat dan murni, seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri pada luka lambung yang tak terobati. (2006) Joko Pinurbo Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

BACA SELANJUTNYA »

Laman sastra Indonesia hadir sebagai portal yang memungkinkan kita untuk menelusuri, memahami, dan menikmati berbagai karya sastra

Menu Laman Sastra