Sajak Sebatang Lisong

Sajak Sebatang Lisong ~ W.S. Rendra

Sajak Sebatang Lisong ~ W.S. Rendra Menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya mendengar 130 juta rakyat dan di langit dua tiga cukung mengangkang berak di atas kepala mereka matahari terbit fajar tiba dan aku melihat delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan aku bertanya tetapi pertanyaan – pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papantulis – papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan delapan juta kanak – kanak menghadapi satu jalan panjang tanpa pilihan tanpa pepohonan tanpa dangau persinggahan tanpa ada bayangan ujungnya …………………….. menghisap udara yang disemprot deodorant aku melihat sarjana – sarjana menganggur berpeluh di jalan raya aku melihat wanita bunting antri uang pensiunan dan di langit para teknokrat berkata : bahwa bangsa kita adalah malas bahwa bangsa mesti dibangun mesti di up-grade disesuaikan dengan teknologi yang diimpor gunung – gunung menjulang langit pesta warna di dalam senjakala dan aku melihat protes – protes yang terpendam terhimpit di bawah tilam aku bertanya tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair – penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan sementara ketidak adilan terjadi disampingnya dan delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan termangu – mangu di kaki dewi kesenian bunga – bunga bangsa tahun depan berkunang – kunang pandang matanya di bawah iklan berlampu neon berjuta – juta harapan ibu dan bapak menjadi gemalau suara yang kacau menjadi karang di bawah muka samodra …………………………… kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing diktat – diktat hanya boleh memberi metode tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan kita mesti keluar ke jalan raya keluar ke desa – desa mencatat sendiri semua gejala dan menghayati persoalan yang nyata inilah sajakku pamplet masa darurat apakah artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan apakah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan RENDRA ( itb bandung – 19 Agustus 1978 )  

BACA SELANJUTNYA »
Sajak Seorang Tua Tentang

Sajak Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api ~ Rendra

Sajak Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api ~ Rendra Bagaimana mungkin kita bernegara bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya bagaimana mungkin kita berbangsa bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup bersama ? Itulah sebabnya kami tidak ikhlas menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu sehingga menjadi lautan api Kini batinku kembali mengenang udara panas yang bergetar dan menggelombang, bau asap, bau keringat suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki langit berwarna kesumba Kami berlaga memperjuangkan kelayakan hidup umat manusia. kedaulatan hidup bersama adalah sumber keadilan merata yang bisa dialami dengan nyata mana mungkin itu bisa terjadi di dalam penindasan dan penjajahan manusia mana akan membiarkan keturunannya hidup tanpa jaminan kepastian? Hidup yang disyukuri adalah hidup yang diolah hidup yang diperkembangkan dan hidup yang dipertahankan itulah sebabnya kami melawan penindasan kota Bandung berkobar menyala-nyala tapi kedaulatan bangsa tetap terjaga Kini aku sudah tua aku terjaga dari tidurku di tengah malam di pegunungan bau apakah yang tercium olehku? Apakah ini bau asap medan laga tempo dulu yang dibawa oleh mimpi kepadaku? ataukah ini bau limbah pencemaran? Gemuruh apakah yang aku dengar ini? apakah ini deru perjuangan masa silam di tanah periangan? ataukah gaduh hidup yang rusuh karena dikhianati dewa keadilan. Aku terkesiap sukmaku gagap apakah aku dibangunkan oleh mimpi? Apakah aku tersentak oleh satu isyarat kehidupan? Di dalam kesunyian malam aku menyeru-nyeru kamu, putera-puteriku Apakah yang terjadi? Darah teman-temanku telah tumpah di Sukakarsa di Dayeuh Kolot di Kiara Condong di setiap jejak medan laga. Kini kami tersentak, terbangun bersama. putera-puteriku, apakah yang terjadi? apakah kamu bisa menjawab pertanyaan kami? Wahai teman-teman seperjuanganku yang dulu, apakah kita masih sama-sama setia membela keadilan hidup bersama Manusia dari setiap angkatan bangsa akan mengalami saat tiba-tiba terjaga tersentak dalam kesendirian malam yang sunyi aan menghadapi pertanyaan jaman: apakah yang terjadi? apakah yang telah kamu lakukan? apakah yang sedang kamu lakukan? Dan, ya, hidup kita yang fana akan mempunyai makna dari jawaban yang kita berikan. Oleh : W.S. Rendra  

BACA SELANJUTNYA »
Surat Cinta ~ W.S. Rendra

Surat Cinta ~ W.S. Rendra

Surat Cinta ~ W.S. Rendra Kutulis surat ini kala hujan gerimis bagai bunyi tambur yang gaib, Dan angin mendesah mengeluh dan mendesah, Wahai, dik Narti, aku cinta kepadamu ! Kutulis surat ini kala langit menangis dan dua ekor belibis bercintaan dalam kolam bagai dua anak nakal jenaka dan manis mengibaskan ekor serta menggetarkan bulu-bulunya, Wahai, dik Narti, kupinang kau menjadi istriku ! Kaki-kaki hujan yang runcing menyentuhkan ujungnya di bumi, Kaki-kaki cinta yang tegas bagai logam berat gemerlapan menempuh ke muka dan tak kan kunjung diundurkan Selusin malaikat telah turun di kala hujan gerimis Di muka kaca jendela mereka berkaca dan mencuci rambutnya untuk ke pesta Wahai, dik Narti dengan pakaian pengantin yang anggun bunga-bunga serta keris keramat aku ingin membimbingmu ke altar untuk dikawinkan Aku melamarmu, Kau tahu dari dulu: tiada lebih buruk dan tiada lebih baik dari yang lain… penyair dari kehidupan sehari-hari, orang yang bermula dari kata kata yang bermula dari kehidupan, pikir dan rasa Semangat kehidupan yang kuat bagai berjuta-juta jarum alit menusuki kulit langit: kantong rejeki dan restu wingit Lalu tumpahlah gerimis Angin dan cinta mendesah dalam gerimis. Semangat cintaku yang kuta batgai seribu tangan gaib menyebarkan seribu jaring menyergap hatimu yang selalu tersenyum padaku Engkau adalah putri duyung tawananku Putri duyung dengan suara merdu lembut bagai angin laut, mendesahlah bagiku ! Angin mendesah selalu mendesah dengan ratapnya yang merdu. Engkau adalah putri duyung tergolek lemas mengejap-ngejapkan matanya yang indah dalam jaringku Wahai, putri duyung, aku menjaringmu aku melamarmu Kutulis surat ini kala hujan gerimis kerna langit gadis manja dan manis menangis minta mainan. Dua anak lelaki nakal bersenda gurau dalam selokan dan langit iri melihatnya Wahai, Dik Narti kuingin dikau menjadi ibu anak-anakku !  ~ W.S Rendra  

BACA SELANJUTNYA »
Doa Di Jakarta

Doa Di Jakarta ~ W.S Rendra

Doa Di Jakarta ~ W.S Rendra Tuhan yang Maha Esa, alangkah tegangnya melihat hidup yang tergadai, fikiran yang dipabrikkan, dan masyarakat yang diternakkan. Malam rebah dalam udara yang kotor. Di manakah harapan akan dikaitkan bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan? Dendam diasah di kolong yang basah siap untuk terseret dalam gelombang edan. Perkelahian dalam hidup sehari-hari telah menjadi kewajaran. Pepatah dan petitih tak akan menyelesaikan masalah bagi hidup yang bosan, terpenjara, tanpa jendela. Tuhan yang Maha Faham, alangkah tak masuk akal jarak selangkah yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh, yang memisahkan sebuah halaman bertaman tanaman hias dengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C. Hati manusia telah menjadi acuh, panser yang angkuh, traktor yang dendam. Tuhan yang Maha Rahman, ketika air mata menjadi gombal, dan kata-kata menjadi lumpur becek, aku menoleh ke utara dan ke selatan – di manakah Kamu? Di manakah tabungan keramik untuk wang logam? Di manakah catatan belanja harian? Di manakah peradaban? Ya, Tuhan yang Maha Hakim, harapan kosong, optimisme hampa. Hanya akal sihat dan daya hidup menjadi peganganku yang nyata. ~ W.S Rendra  

BACA SELANJUTNYA »
Sajak Makna Sebuah Titipan

Sajak Makna Sebuah Titipan ~ WS Rendra

Sajak Makna Sebuah Titipan ~ WS Rendra Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku, bahwa : sesungguhnya ini hanya titipan, bahwa mobilku hanya titipan Allah bahwa rumahku hanya titipan Nya, bahwa hartaku hanya titipan Nya, bahwa putraku hanya titipan Nya, tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku? Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini? Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku? Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya? Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka, kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita. Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku. Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika: aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku. Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih. Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku, Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah… “ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja” ~ WS Rendra  

BACA SELANJUTNYA »
Sajak Nyanyian Suto

Sajak Nyanyian Suto Untuk Fatima – WS Rendra

Sajak Nyanyian Suto Untuk Fatima – WS Rendra Dua puluh tiga matahari bangkit dari pundakmu. Tubuhmu menguapkan bau tanah dan menyalalah sukmaku. Langit bagai kain tetiron yang biru terbentang berkilat dan berkilauan menantang jendela kalbu yang berdukacita. Rohku dan rohmu bagaikan proton dan elektron bergolak bergolak Di bawah dua puluh tiga matahari. Dua puluh tiga matahari membakar dukacitaku. Nyanyian Fatima untuk Suto Kelambu ranjangku tersingkap di bantal berenda tergolek nasibku. Apabila firmanmu terucap masuklah kalbuku ke dalam kalbumu. Sedu-sedan mengetuk tingkapku dari bumi di bawah rumpun mawar. Waktu lahir kau telanjang dan tak tahu tapi hidup bukanlah tawar-menawar. ~WS Rendra  

BACA SELANJUTNYA »
Nina Bobok Bagi Pengantin

Nina Bobok Bagi Pengantin ~ W.S Rendra

Nina Bobok Bagi Pengantin ~ W.S Rendra Awan bergoyang, pohonan bergoyang antara pohonan bergoyang malaikat membayang dari jauh bunyi merdu loceng loyang Sepi, syahdu, rindu candu rindu, ghairah kelabu rebahlah, sayang, rebahlah wajahmu ke dadaku Langit lembayung, pucuk-pucuk daun lembayung antara daunan lembayung bergantung hati yang ruyung dalam hawa bergulung mantera dan tenung Mimpi remaja, bulan kenangan duka cinta, duka berkilauan rebahlah sayang, rebahkan mimpimu ke dadaku Bumi berangkat tidur duka berangkat hancur aku tampung kau dalam pelukan tangan rindu Sepi dan tidur, tidur dan sepi sepi tanpa mati, tidur tanpa mati rebahlah sayang, rebahkan dukamu ke dadaku. ~ W.S Rendra Dipetik dari 4 Kumpulan Sajak  

BACA SELANJUTNYA »
Sajak Burung-Burung Kondor

Sajak Burung-Burung Kondor – WS Rendra

Sajak Burung-Burung Kondor – WS Rendra Angin gunung turun merembes ke hutan, lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas, dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau. Kemudian hatinya pilu melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh yang terpacak di atas tanah gembur namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya. Para tani – buruh bekerja, berumah di gubug-gubug tanpa jendela, menanam bibit di tanah yang subur, memanen hasil yang berlimpah dan makmur namun hidup mereka sendiri sengsara. Mereka memanen untuk tuan tanah yang mempunyai istana indah. Keringat mereka menjadi emas yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa. Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan, para ahli ekonomi membetulkan letak dasi, dan menjawab dengan mengirim kondom. Penderitaan mengalir dari parit-parit wajah rakyatku. Dari pagi sampai sore, rakyat negeriku bergerak dengan lunglai, menggapai-gapai, menoleh ke kiri, menoleh ke kanan, di dalam usaha tak menentu. Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah, dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai, dan sukmanya berubah menjadi burung kondor. Beribu-ribu burung kondor, berjuta-juta burung kondor, bergerak menuju ke gunung tinggi, dan disana mendapat hiburan dari sepi. Karena hanya sepi mampu menghisap dendam dan sakit hati. Burung-burung kondor menjerit. Di dalam marah menjerit, bergema di tempat-tempat yang sepi. Burung-burung kondor menjerit di batu-batu gunung menjerit bergema di tempat-tempat yang sepi Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu, mematuki batu-batu, mematuki udara, dan di kota orang-orang bersiap menembaknya. WS Rendra  

BACA SELANJUTNYA »
NYANYIAN ANGSA karya W.S Rendra

NYANYIAN ANGSA karya W.S Rendra

NYANYIAN ANGSA karya W.S Rendra Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya: “Sudah dua minggu kamu berbaring. Sakitmu makin menjadi. Kamu tak lagi hasilkan uang. Malahan kapadaku kamu berhutang. Ini beaya melulu. Aku tak kuat lagi. Hari ini kamu harus pergi.” (Malaikat penjaga Firdaus. Wajahnya tegas dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Maka darahku terus beku. Maria Zaitun namaku. Pelacur yang sengsara. Kurang cantik dan agak tua). Jam dua-belas siang hari. Matahari terik di tengah langit. Tak ada angin. Tak mega. Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran. Tanpa koper. Tak ada lagi miliknya. Teman-temannya membuang muka. Sempoyongan ia berjalan. Badannya demam. Sipilis membakar tubuhnya. Penuh borok di klangkang di leher, di ketiak, dan di susunya. Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah. Sakit jantungnya kambuh pula. Ia pergi kepada dokter. Banyak pasien lebih dulu menunggu. Ia duduk di antara mereka. Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka. Ia meledak marah tapi buru-buru jururawat menariknya. Ia diberi giliran lebih dulu dan tak ada orang memprotesnya. “Maria Zaitun, utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter. “Ya,” jawabnya. “Sekarang uangmu brapa?” “Tak ada.” Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang. Ia kesakitan waktu membuka baju sebab bajunya lekat di borok ketiaknya. “Cukup,” kata dokter. Dan ia tak jadi mriksa. Lalu ia berbisik kepada jururawat: “Kasih ia injeksi vitamin C.” Dengan kaget jururawat berbisik kembali: “Vitamin C? Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.” “Untuk apa? Ia tak bisa bayar. Dan lagi sudah jelas ia hampir mati. Kenapa mesti dikasih obat mahal yang diimport dari luar negri?” (Malaikat penjaga Firdaus. Wajahnya iri dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Aku gemetar ketakutan. Hilang rasa. Hilang pikirku. Maria Zaitun namaku. Pelacur yang takut dan celaka.) Jam satu siang. Matahari masih dipuncak. Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu. Dan aspal jalan yang jelek mutunya lumer di bawah kakinya. Ia berjalan menuju gereja. Pintu gereja telah dikunci. Karna kuatir akan pencuri. Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu. Koster ke luar dan berkata: “Kamu mau apa? Pastor sedang makan siang. Dan ini bukan jam bicara.” “Maaf. Saya sakit. Ini perlu.” Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau. Lalu berkata: “Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu. Aku lihat apa pastor mau terima kamu.” Lalu koster pergi menutup pintu. Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan. Ada satu jam baru pastor datang kepadanya. Setelah mengorek sisa makanan dari giginya ia nyalakan crutu, lalu bertanya: “Kamu perlu apa?” Bau anggur dari mulutnya. Selopnya dari kulit buaya. Maria Zaitun menjawabnya: “Mau mengaku dosa.” “Tapi ini bukan jam bicara. Ini waktu saya untuk berdo’a.” “Saya mau mati.” “Kamu sakit?” “Ya. Saya kena rajasinga.” Mendengar ini pastor mundur dua tindak. Mukanya mungkret. Akhirnya agak keder ia kembali bersuara: “Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?” “Saya pelacur. Ya.” “Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!” “Ya.” “Santo Petrus!” Tiga detik tanpa suara. Matahari terus menyala. Lalu pastor kembali bersuara: “Kamu telah tergoda dosa.” “Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.” “Kamu telah terbujuk setan.” “Tidak. Saya terdesak kemiskinan. Dan gagal mencari kerja.” “Santo Petrus!” “Santo Petrus! Pater, dengarkan saya. Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya. Yang nyata hidup saya sudah gagal. Jiwa saya kalut. Dan saya mau mati. Sekarang saya takut sekali. Saya perlu Tuhan atau apa saja untuk menemani saya.” Dan muka pastor menjadi merah padam. Ia menuding Maria Zaitun. “Kamu galak seperti macan betina. Barangkali kamu akan gila. Tapi tak akan mati. Kamu tak perlu pastor. Kamu perlu dokter jiwa.” (Malaekat penjaga firdaus wajahnya sombong dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Aku lesu tak berdaya. Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara. Maria Zaitun namaku. Pelacur yang lapar dan dahaga.) Jam tiga siang. Matahari terus menyala. Dan angin tetap tak ada. Maria Zaitun bersijingkat di atas jalan yang terbakar. Tiba-tiba ketika nyebrang jalan ia kepleset kotoran anjing. Ia tak jatuh tapi darah keluar dari borok di klangkangnya dan meleleh ke kakinya. Seperti sapi tengah melahirkan ia berjalan sambil mengangkang. Di dekat pasar ia berhenti. Pandangnya berkunang-kunang. Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar. Orang-orang pergi menghindar. Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran. Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan. Kemudian ia bungkus hati-hati dengan daun pisang. Lalu berjalan menuju ke luar kota. (Malaekat penjaga firdaus wajahnya dingin dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Yang Mulya, dengarkanlah aku. Maria Zaitun namaku. Pelacur lemah, gemetar ketakutan.) Jam empat siang. Seperti siput ia berjalan. Bungkusan sisa makanan masih di tangan belum lagi dimakan. Keringatnya bercucuran. Rambutnya jadi tipis. Mukanya kurus dan hijau seperti jeruk yang kering. Lalu jam lima. Ia sampai di luar kota. Jalan tak lagi beraspal tapi debu melulu. Ia memandang matahari dan pelan berkata: “Bedebah.” Sesudah berjalan satu kilo lagi ia tinggalkan jalan raya dan berbelok masuk sawah berjalan di pematang. (Malaekat penjaga firdaus wajahnya tampan dan dengki dengan pedang yang menyala mengusirku pergi. Dan dengan rasa jijik ia tusukkan pedangnya perkasa di antara kelangkangku. Dengarkan, Yang Mulya. Maria Zaitun namaku. Pelacur yang kalah. Pelacur terhina). Jam enam sore. Maria Zaitun sampai ke kali. Angin bertiup. Matahari turun. Haripun senja. Dengan lega ia rebah di pinggir kali. Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya. Lalu ia makan pelan-pelan. Baru sedikit ia berhenti. Badannya masih lemas tapi nafsu makannya tak ada lagi. Lalu ia minum air kali. (Malaekat penjaga firdaus tak kau rasakah bahwa senja telah tiba angin turun dari gunung dan hari merebahkan badannya? Malaekat penjaga firdaus dengan tegas mengusirku. Bagai patung ia berdiri. Dan pedangnya menyala.) Jam tujuh. Dan malam tiba. Serangga bersuiran. Air kali terantuk batu-batu. Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang dan mengkilat di bawah sinar bulan. Maria Zaitun tak takut lagi. Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya. Mandi di kali dengan ibunya. Memanjat pohonan. Dan memancing ikan dengan pacarnya. Ia tak lagi merasa sepi. Dan takutnya pergi. Ia merasa bertemu sobat lama. Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya. Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya. Ia jadi berduka. Dan mengadu pada sobatnya sembari menangis tersedu-sedu. Ini tak baik buat penyakit jantungnya. (Malaekat penjaga firdaus wajahnya dingin dan dengki. Ia tak mau mendengar jawabku. Ia tak

BACA SELANJUTNYA »
Paman Doblang – WS Rendra

Paman Doblang – WS Rendra

Paman Doblang – WS Rendra Paman Doblang! Paman Doblang! Mereka masukkan kamu ke dalam sel yang gelap. Tanpa lampu. Tanpa lubang cahaya. Pengap. Ada hawa. Tak ada angkasa. Terkucil. Temanmu beratus-ratus nyamuk semata. Terkunci. Tak tahu di mana berada. Paman Doblang! Paman Doblang! Apa katamu? Ketika haus aku minum dari kaleng karatan. Sambil bersila aku mengharungi waktu lepas dari jam, hari dan bulan Aku dipeluk oleh wibawa tidak berbentuk tidak berupa, tidak bernama. Aku istirah di sini. Tenaga ghaib memupuk jiwaku. Paman Doblang! Paman Doblang! Di setiap jalan mengadang mastodon dan serigala. Kamu terkurung dalam lingkaran. Para pengeran meludahi kamu dari kereta kencana. Kaki kamu dirantai ke batang karang. Kamu dikutuk dan disalahkan. Tanpa pengadilan. Paman Doblang! Paman Doblang! Bubur di piring timah didorong dengan kaki ke depanmu Paman Doblang, apa katamu? Kesedaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakerawala. Dan perjuangan adalah perlaksanaan kata-kata. Sajak Rendra (Depok, 22 April 1984)  

BACA SELANJUTNYA »

Laman sastra Indonesia hadir sebagai portal yang memungkinkan kita untuk menelusuri, memahami, dan menikmati berbagai karya sastra

Menu Laman Sastra