CATATAN MASA KECIL, 4 Karya: Sapardi Djoko Damono

CATATAN MASA KECIL, 4 Karya: Sapardi Djoko Damono

CATATAN MASA KECIL, 4 Karya: Sapardi Djoko Damono          Ia tak pernah sempat bertanya kepada dua kali dua hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar dari tiga tambah tiga. Sejak semula ia sayang pada angka nol. Dan setiap kali ia menghitung dua tambah tiga kali empat kurang dua ia selalu teringat waktu terjaga malam-malam ketika ibunya sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah dan di halaman terdengar langkah-langkah bakiak almarhum neneknya dan ia ingin kencing tetapi takut ke kamar kecil yang dekat sumur itu dan lalu kencing saja di kasur.          Sungguh, sejak semula ia hanya mempercayai angka nol. Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
AUBADE Karya: Sapardi Djoko Damono

AUBADE Karya: Sapardi Djoko Damono

AUBADE Karya: Sapardi Djoko Damono percik-percik cahaya. Lalu kembali hijau namamu, daun yang menjelma kupu-kupu, ketika anak-anak bernyanyi– melintas di depan jendela itu lalu kembali cahaya sebutanmu, hatiku pagi ini Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
IBU Karya: Sapardi Djoko Damono

IBU Karya: Sapardi Djoko Damono

IBU Karya: Sapardi Djoko Damono        Ibu masih tinggal di kampung itu, ia sudah tua. Ia adalah perempuan yang menjadi korban mimpi-mimpi ayahku. Ayah sudah meninggal, ia dikuburkan di sebuah makam tua di kampung itu juga, beberapa langkah saja dari rumah kami. Dulu Ibu sering pergi sendirian ke makam, menyapu sampah dan, kadang-kadang, menebarkan beberapa kuntum bunga. “Ayahmu bukan pemimpi,” katanya yakin meskipun tidak berapi-api, “ia tahu benar apa yang akan terjadi.”        Kini di makam itu sudah berdiri sebuah sekolah, Ayah digusur ke sebuah makam agak jauh di sebelah utara kota. Kalau aku kebetulan pulang, Ibu suka mengingatkanku untuk menengok makam Ayah, mengirim doa. Ibu sudah tua, tentu lebih mudah mengirim doa dari rumah saja. “Ayahmu dulu sangat sayang padamu, meskipun kau mungkin tak pernah mempercayai segala yang dikatakannya.”        Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, sambil menengok ke luar jendela pesawat udara, sering kubayangkan Ibu berada di antara mega-mega. Aku berpikir, Ibu sebenarnya lebih pantas tinggal di sana, di antara bidadari-bidadari kecil yang dengan ringan terbang dari mega ke mega–dan tidak mondar- mandir dari dapur ke tempat tidur, memberi makan dan menyusui anak-anaknya. “Sungguh, dulu ayahmu sangat sayang padamu,” kata Ibu selalu, “meskipun sering dikatakannya bahwa ia tak pernah bisa memahami igauanmu.” Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
GARIS Karya: Sapardi Djoko Damono

GARIS Karya: Sapardi Djoko Damono

GARIS Karya: Sapardi Djoko Damono menyanyat garis-garis hitam atas warna keemasan; di musim apa Kita mesti berpisah tanpa membungkukkan selamat jalan? sewaktu cahaya tertoreh ruang hening oleh bisik pisau; Dikau-kah debu, bianglala itu, kabut diriku? dan garis-garis tajam (berulang kembali, berulang ditolakkan) atas latar keemasan pertanda aku pun hamil. Kau-tinggalkan Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
AUBADE Karya: Sapardi Djoko Damono

AKIK Karya: Sapardi Djoko Damono

AKIK Karya: Sapardi Djoko Damono ada sebutir batu akik diletakkan pelahan-lahan, sangat hati-hati, di hatimu ia sangat tua dan berbintik hitam mengkilap setelah puluhan tahun diupam ia ingin seperti layang-layang, tinggi-tinggi lalu putus dan diperebutkan anak-anak itu ingin menjadi surat yang dikirim ke sebuah rumah yang tak begitu jelas alamatnya tapi ia sebutir batu akik yang diletakkan pelahan-lahan, sangat hati-hati, di hatimu Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »

ADAM DAN HAWA Karya: Sapardi Djoko Damono

ADAM DAN HAWA Karya: Sapardi Djoko Damono biru langit menjadi sangat dalam awan menjelma burung berkas-berkas cahaya sibuk jalin-menjalin tanpa pola angit tersesat di antara sulur pohonan di hutan ketika Adam tiba-tiba saja melepaskan diri dari pelukan perempuan itu dan susah-payah berdiri, berkata “kau ternyata bukan perawan lagi lalu Siapa gerangan yang telah lebih dahulu menidurimu?” Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »

HAWA DINGIN Karya: Sapardi Djoko Damono

HAWA DINGIN Karya: Sapardi Djoko Damono dingin malam memang tak pernah mau menegurmu, dan membiarkanmu telanjang; berdiri saja ia di sudut itu dan membentakmu, “Ia hanya bayang-bayang!” “Bukan, ia tulang rusukku,” sahutku sambil menyaksikannya mendadak menyebar ke seluruh kamar–yang tersisa tinggal abu sesudah kita berdua habis terbakar Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
naskah drama PADANG BULAN

MEMANCING Karya: Sapardi Djoko Damono

MEMANCING Karya: Sapardi Djoko Damono batu kecil yang tadi iseng kaulemparkan ke dalam kolam pemancingan itu mendadak sadar dan membayangkan dirinya ikan yang menyambar-nyambar mata kailmu tapi batu kecil memang bukan ikan dan kailmu tidak dirancang untuk batu itu tapi kenapa kau suka iseng melempar-lemparkan sehingga batu itu mendambakan kailmu batu itu, murung, ada di dasar kolam sekarang di sekitarnya ikan-ikan tak acuh berseliweran sementara kailmu terpencil bergoyang-goyang di tepi kolam kau terkantuk-kantuk sendirian Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
NASKAH DRAMA Cahaya Rembulan

RUMAH OOM YOS Karya: Sapardi Djoko Damono

RUMAH OOM YOS Karya: Sapardi Djoko Damono untuk Mas Gondo di lereng bukit, rumah itu indah sekali pekarangannya beberapa ribu meter persegi dari serambi depan dapat disaksikan matahari pagi menggiring kabut ke perbukitan dari serambi belakang: butir-butir embun jalanan menanjak jalanan menurun ruang dan kamarnya minta ampun besarnya penuh barang antik: cermin-cermin tua keramik, perabotan, sekat-sekat ruangan lampu gantung entah dari zaman kapan kepala harimau dan kijang di dinding-dindingnya jam-burung dan patung-patung Eropa di luar membentang hamparan rumput awas, jalan setapak itu agak berlumut sebelah sana kebun bunga aneka rupa ada mawar, tentu saja, dan anggrek langka dekat jalan berliku-liku di sebelah sana ditanam ubi jalar, ditanam jagung pula kadang kami suka mendapat rejeki dikirimi jagung manis dan ubi kalau si empunya kebetulan mampir ke rumahnya sendiri, istilahnya: parkir ya, ia memang jarang pulang ke mari dalam setahun hanya beberapa hari soalnya ia punya apartemen di Singapura di LA dan entah di mana di Eropa tapi konon ia lebih sering di Hong Kong jalan-jalan atau sekedar nongkrong anak-cucunya pun tak punya waktu lagi mengurus rumah yang astagfirulah ini sebab sangat amat sibuk sekali dengan bisnis mereka sendiri-sendiri di rumah ini sepanjang tahun ada belasan pembantu dan tukang kebun yang sudah menyatu dengan aneka unggas di dalam sangkar, menatap ke alam bebas Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
Sajak Pertemuan Mahasiswa

AYAT-AYAT TOKYO Karya: Sapardi Djoko Damono

AYAT-AYAT TOKYO Karya: Sapardi Djoko Damono /1/ angin memahatkan tiga panah kata di kelopak sakura– ada yang diam-diam membacanya /2/ ada kuntum melayang jatuh air tergelincir dari payung itu; “kita bergegas,” katanya /3/ kita pandang daun bermunculan kita pandang bunga berguguran kita diam: berpandangan /4/ kemarin tak berpangkal, besok tak berujung– tak tahu mesti ke mana angin menyambut bunga gugur itu /5/ lengking sakura– tapi angin tuli dan langit buta /6/ menjelma burung gereja menghirup langit dalam-dalam– angin musim semi Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »

Laman sastra Indonesia hadir sebagai portal yang memungkinkan kita untuk menelusuri, memahami, dan menikmati berbagai karya sastra

Menu Laman Sastra