AUBADE Karya: Sapardi Djoko Damono

AKIK Karya: Sapardi Djoko Damono

AKIK Karya: Sapardi Djoko Damono ada sebutir batu akik diletakkan pelahan-lahan, sangat hati-hati, di hatimu ia sangat tua dan berbintik hitam mengkilap setelah puluhan tahun diupam ia ingin seperti layang-layang, tinggi-tinggi lalu putus dan diperebutkan anak-anak itu ingin menjadi surat yang dikirim ke sebuah rumah yang tak begitu jelas alamatnya tapi ia sebutir batu akik yang diletakkan pelahan-lahan, sangat hati-hati, di hatimu Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »

ADAM DAN HAWA Karya: Sapardi Djoko Damono

ADAM DAN HAWA Karya: Sapardi Djoko Damono biru langit menjadi sangat dalam awan menjelma burung berkas-berkas cahaya sibuk jalin-menjalin tanpa pola angit tersesat di antara sulur pohonan di hutan ketika Adam tiba-tiba saja melepaskan diri dari pelukan perempuan itu dan susah-payah berdiri, berkata “kau ternyata bukan perawan lagi lalu Siapa gerangan yang telah lebih dahulu menidurimu?” Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »

HAWA DINGIN Karya: Sapardi Djoko Damono

HAWA DINGIN Karya: Sapardi Djoko Damono dingin malam memang tak pernah mau menegurmu, dan membiarkanmu telanjang; berdiri saja ia di sudut itu dan membentakmu, “Ia hanya bayang-bayang!” “Bukan, ia tulang rusukku,” sahutku sambil menyaksikannya mendadak menyebar ke seluruh kamar–yang tersisa tinggal abu sesudah kita berdua habis terbakar Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
naskah drama PADANG BULAN

MEMANCING Karya: Sapardi Djoko Damono

MEMANCING Karya: Sapardi Djoko Damono batu kecil yang tadi iseng kaulemparkan ke dalam kolam pemancingan itu mendadak sadar dan membayangkan dirinya ikan yang menyambar-nyambar mata kailmu tapi batu kecil memang bukan ikan dan kailmu tidak dirancang untuk batu itu tapi kenapa kau suka iseng melempar-lemparkan sehingga batu itu mendambakan kailmu batu itu, murung, ada di dasar kolam sekarang di sekitarnya ikan-ikan tak acuh berseliweran sementara kailmu terpencil bergoyang-goyang di tepi kolam kau terkantuk-kantuk sendirian Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
NASKAH DRAMA Cahaya Rembulan

RUMAH OOM YOS Karya: Sapardi Djoko Damono

RUMAH OOM YOS Karya: Sapardi Djoko Damono untuk Mas Gondo di lereng bukit, rumah itu indah sekali pekarangannya beberapa ribu meter persegi dari serambi depan dapat disaksikan matahari pagi menggiring kabut ke perbukitan dari serambi belakang: butir-butir embun jalanan menanjak jalanan menurun ruang dan kamarnya minta ampun besarnya penuh barang antik: cermin-cermin tua keramik, perabotan, sekat-sekat ruangan lampu gantung entah dari zaman kapan kepala harimau dan kijang di dinding-dindingnya jam-burung dan patung-patung Eropa di luar membentang hamparan rumput awas, jalan setapak itu agak berlumut sebelah sana kebun bunga aneka rupa ada mawar, tentu saja, dan anggrek langka dekat jalan berliku-liku di sebelah sana ditanam ubi jalar, ditanam jagung pula kadang kami suka mendapat rejeki dikirimi jagung manis dan ubi kalau si empunya kebetulan mampir ke rumahnya sendiri, istilahnya: parkir ya, ia memang jarang pulang ke mari dalam setahun hanya beberapa hari soalnya ia punya apartemen di Singapura di LA dan entah di mana di Eropa tapi konon ia lebih sering di Hong Kong jalan-jalan atau sekedar nongkrong anak-cucunya pun tak punya waktu lagi mengurus rumah yang astagfirulah ini sebab sangat amat sibuk sekali dengan bisnis mereka sendiri-sendiri di rumah ini sepanjang tahun ada belasan pembantu dan tukang kebun yang sudah menyatu dengan aneka unggas di dalam sangkar, menatap ke alam bebas Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
Sajak Pertemuan Mahasiswa

AYAT-AYAT TOKYO Karya: Sapardi Djoko Damono

AYAT-AYAT TOKYO Karya: Sapardi Djoko Damono /1/ angin memahatkan tiga panah kata di kelopak sakura– ada yang diam-diam membacanya /2/ ada kuntum melayang jatuh air tergelincir dari payung itu; “kita bergegas,” katanya /3/ kita pandang daun bermunculan kita pandang bunga berguguran kita diam: berpandangan /4/ kemarin tak berpangkal, besok tak berujung– tak tahu mesti ke mana angin menyambut bunga gugur itu /5/ lengking sakura– tapi angin tuli dan langit buta /6/ menjelma burung gereja menghirup langit dalam-dalam– angin musim semi Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
Sajak Makna Sebuah Titipan

JAKARTA JULI 1996 Karya: Sapardi Djoko Damono

JAKARTA JULI 1996 Karya: Sapardi Djoko Damono Katamu kemarin telah terjadi ribut-ribut di sini. Sia-sia pidato, yel, teriakan, umpatan, rintihan, derum truk, semprotan air, dan tembakan masih terekam lirih sekali di got dan selokan yang mampet. Aku seperti mengenali suaramu di sela-sela ribut-ribut yang lirih itu, tapi sungguh mati aku tak tahu kau ini sebenarnya sang pemburu atau hewan yang luka itu Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
DALAM SETIAP DIRI KITA Karya: Sapardi Djoko Damono

DALAM SETIAP DIRI KITA Karya: Sapardi Djoko Damono

DALAM SETIAP DIRI KITA Karya: Sapardi Djoko Damono Dalam setiap diri kita, berjaga-jaga segerombolan serigala. Di ujung kampung, lerat pengeras suara, para kyai menanyai setiap selokan, setiap lubang di tengah jalan, dan setiap tikungan; para pendeta menghardik setiap pagar, setiap pintu yang terbuka, dan setiap pekarangan. Gamelan jadi langka. Di keramaian kota kita mencari burung-burung yang diusir dari perbukitan dan suka bertengger sepanjang kabel listrik, yang mendadak lenyap begitu saja sejak sering terdengar suara senapan angin orang-orang berseragam itu. Entah kena sawan apa, rombongan sulap itu membakar kota sebagai permainannya. Sapardi Djoko Damono Buku: Ayat-Ayat Api

BACA SELANJUTNYA »
PUISI DOA DI JAKARTA

PUISI DOA DI JAKARTA – WS RENDRA

PUISI DOA DI JAKARTA – WS RENDRA Tuhan yang Maha Esa, alangkah tegangnya melihat hidup yang tergadai, fikiran yang dipabrikkan, dan masyarakat yang diternakkan. Malam rebah dalam udara yang kotor. Di manakah harapan akan dikaitkan bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan? Dendam diasah di kolong yang basah siap untuk terseret dalam gelombang edan. Perkelahian dalam hidup sehari-hari telah menjadi kewajaran. Pepatah dan petitih tak akan menyelesaikan masalah bagi hidup yang bosan, terpenjara, tanpa jendela. Tuhan yang Maha Faham, alangkah tak masuk akal jarak selangkah yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh, yang memisahkan sebuah halaman bertaman tanaman hias dengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C. Hati manusia telah menjadi acuh, panser yang angkuh, traktor yang dendam. Tuhan yang Maha Rahman, ketika air mata menjadi gombal, dan kata-kata menjadi lumpur becek, aku menoleh ke utara dan ke selatan – di manakah Kamu? Di manakah tabungan keramik untuk wang logam? Di manakah catatan belanja harian? Di manakah peradaban? Ya, Tuhan yang Maha Hakim, harapan kosong, optimisme hampa. Hanya akal sihat dan daya hidup menjadi peganganku yang nyata. Ibumu mempunyai hak yang sekiranya kamu mengetahui tentu itu besar sekali Kebaikanmu yang banyak ini Sungguh di sisi-Nya masih sedikit Berapa banyak malam yang ia gunakan mengaduh karena menanggung bebanmu Dalam pelayanannya ia menanggung rintih dan nafas panjang Ketika melahirkan andai kamu mengetahui keletihan yang ditanggungnya Dari balik sumbatan kerongkongannya hatinya terbang Berapa banyak ia membasuh sakitmu dengan tangannya Pangkuannya bagimu adalah sebuah ranjang Sesuatu yang kamu keluhkan selalu ditebusnya dengan dirinya Dari susunya keluarlah minuman yang sangat enak buatmu Berapa kali ia lapar dan ia memberikan makanannya kepadamu Dengan belas kasih dan kasih sayang saat kamu masih kecil Aneh orang yang berakal tapi masih mengikuti hawa nafsunya Aneh orang yang buta mata hatinya sementara matanya melihat Wujudkan cintaimu dengan memberikan doamu yang setulusnya pada ibumu Karena kamu sangat membutuhkan doanya padamu

BACA SELANJUTNYA »

Laman sastra Indonesia hadir sebagai portal yang memungkinkan kita untuk menelusuri, memahami, dan menikmati berbagai karya sastra

Menu Laman Sastra