PENAGIH UTANG
Karya: Joko Pinurbo
Penagih utang itu datang tengah malam.
Ia duduk dengan sopan, kedua tangan ditangkupkan,
baju batiknya yang murahan tampak terlalu kedodoran
untuk tubuhnya yang kurus dan kusam.
“Langsung saja, ada perlu apa?” aku menghentak.
Ia terperangah, badannya mengkerut, dan kopiahnya
yang longgar seakan bergeser dari letaknya.
“Maaf, kalau tidak salah, ini sudah jadwalnya.”
“Jadwal bayar utang, maksudnya? Sabarlah, saya
sedang banyak keperluan. Bapak lihat sendiri,
brankas saya sedang ludes, kolam renang
belum selesai saya perbaiki, toilet baru akan
saya lapisi emas, istri belum sempat
saya tambah lagi. Mohon pengertian sedikitlah!”
Tamu itu berkali-kali minta maaf, kemudian permisi.
Sebelum meninggalkan pintu, ia sempat berbisik
di telingaku, “Tidak bikin keranda emas sekalian, Pak?”
“Dasar rakyat!” dalam hati aku mengumpat.
Entah mengapa, setiap kali melayat orang meninggal
aku selalu melihat penagih utang itu menyelinap
di tengah kerumunan. Ia suka mengangguk, tersenyum,
namun saat akan kutemui sudah tak ada di tempatnya.
Tahu-tahu ia muncul di kuburan, melambaikan tangan,
dan ketika kudatangi tiba-tiba raib entah ke mana.
Dan orang kaya yang banyak utang itu akhirnya
mati mendadak persis saat sedang mencoba
keranda emas yang baru saja selesai dibuat
oleh ahlinya. Mewakili para pelayat, bapak tua
berbaju batik itu tampil menyampaikan kata-kata
belasungkawa. Dalam sambutan singkatnya antara lain
ia mengatakan bahwa kematian tragis almarhum
tetap tidak dapat menebus utang-utangnya.
Namun ia mengajak hadirin untuk mendoakan
arwahnya, memaafkan segala salahnya, syukur-syukur
bersedia ikut menanggung utang-utangnya.
(2001)
Joko Pinurbo
Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi