NASKAH DRAMA TITIK-TITIK HITAM Karya: Nasyah Djamin 1956
Naskah drama yang berjudul “Titik-Titik Hitam”, karya Nasyah Djamin yang dipublikasikan pada tahun 1956, merupakan sebuah karya sastra yang sangat berharga. Selain itu, naskah ini menawarkan pandangan mendalam tentang dinamika sosial dan psikologis pada era tersebut. Dengan demikian, “Titik-Titik Hitam” bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga sebuah karya yang menggugah pemikiran dan menantang pembaca untuk merenungkan berbagai aspek kehidupan.
Oleh karena itu, kami, sebagai Bandar Naskah, dengan bangga menyediakan BANK NASKAH DRAMA khusus untuk teman-teman pegiat teater di seluruh Indonesia. Kami percaya bahwa melalui penyediaan naskah drama yang berkualitas, kami dapat mendukung dan
memajukan dunia teater di tanah air.
Selain itu, kami juga membuka kesempatan bagi penulis naskah terbaru yang ingin membagikan karyanya kepada publik. Jika Anda
adalah seorang penulis yang memiliki naskah drama yang belum di publikasikan atau karya lama yang perlu mendapatkan perhatian lebih,
kami sangat menyambut kesempatan untuk mendistribusikan naskah Anda melalui laman kami. Untuk itu, silakan hubungi kami melalui email
di jejakteater@gmail.com. Kami siap membantu Anda dalam proses publikasi dan distribusi naskah drama
Anda agar lebih di kenal oleh khalayak luas.
Dengan demikian, kami berharap Anda dapat memanfaatkan layanan BANK NASKAH DRAMA kami dengan sebaik-baiknya dan terus
berkontribusi pada perkembangan dunia teater di Indonesia.
CUPLIKAN TITIK-TITIK HITAM
Para Pelaku:
- ADANG
- HARTATI / ISTRI ADANG
- TRISNO / ADIK ADANG
- RAHAYU / ADIK HARTATI
- IBU / IBU HARTATI + RAHAYU
- GUN
(Peristiwa terjadi di ruang depan rumah Adang. Dan sasaran penempatannya menunjukkan si penghuni memahami selera moderen, sederhana dan bersih. Di dinding bergantungan lukisan-lukisan. Di sebuah sudut kamar, terpampang sebuah potret lukisan Hartati di atas standar. Lukisan ini baru selesai muka dan lehernya, bagian lainnya baru merupakan sket saja. Ketika itu malam baru tiba, di luar hujan turun. Ruangan terbenam dalam suasana suram. Di sebuah dipan duduklah ibu diam tunduk sebagai orang bersemadi. Suara langkah Adang yang mondar mandir itu terasa kosong lengang. Ia gelisah. Seketika Adang terhenti di depan pintu kamar Hartati yang tertutup rapat, ada tergerak ia hendak membuka, tapi demi ia sadar dan berpaling, matanya beradu dengan mata ibu yang kini memperhatikannya. Pintu tak jadi dibukanya, Ia mondar mandir lagi. Cekung kurus dan letih ia kelihatan dengan jambangnya, kumis dan janggut yang tak cukur beberapa hari itu, dan Ibu yang tidak tahan mendengar suara langkahnya itu menegur).
IBU : Kenapa kau tidak pergi tidur dulu?
(Adang hanya tertegun sedikit, lalu mondar mandir lagi. Ibu menuruti dengan mata ada terbayang kesalnya).
IBU : Jangan mondar mandir begitu, Adang!
ADANG : Apa kata Ibu?
IBU : Jangan mondar mandir, kubilang!
(Adang memandang ibu dengan tak senang. Ia meneruskan langkah-langkahnya sebagai menantang).
IBU : Adang !
ADANG : Jadi aku mesti bagaimana.
IBU : Jangan seperti orang linglung. Berbuatlah apa-apa.
ADANG : Aku sedang berbuat apa-apa sekarang. (Ia mondar mandir lagi dengan lebih tidak peduli).
IBU : Dengar Adang. Pergi kau tidur sekarang, atau pergilah kemana saja, asal pergi dari sini. Bisa gila aku melihatmu begitu!